Cerpen-Kertas Harapan

 

Oleh: Mutiara Tyas K

@thrsiamtk

Tok…tok…tok… "Permisi"

  Semilir angin merasuk sukma. Membuat sensasi hawa dingin sore ini. Di pekarangan terlihat angin menerbang-nerbangkan dedaunan kering. Pekarangan yang luas untuk sebuah rumah minimalis di tengahnya. Terdapat pohon-pohon di sana serta tanaman sayur-mayur yang terlihat gemuk-gemuk. Ada sayur buncis, sawi pak choy, terong, dan kacang panjang. Bangunan rumahnya masih sama seperti delapan tahun yang lalu. Hanya warna catnya yang sudah berganti-merah maroon. Aku masih mengetuk pintunya untuk kali kedua, masih tidak ada tanggapan. Terdapat bunga mawar putih  di atas meja teras, bunganya layu-mungkin pemilik rumahnya belum sempat mengganti. Kucoba mengetuk lagi, masih sama-belum ada jawaban. Kakiku mulai melangkah meninggalkan teras, menuju ke sebuah pohon jati di ujung pekarangan. Setelah beberapa langkah, kutengok kembali teras rumah itu, berharap tiba-tiba ada seseorang membuka pintu. Nyatanya tidak.

Sepatu ketsku yang warnanya memudar kini tengah berdiri menginjak di atas tanah, di bawah pohon jati, yang dulu kami beri nama "Zoya", diambil dari bahasa Yunani yang berarti kehidupan. Reflek aku tersenyum ketika mengingatnya. Kumundurkan kakiku beberapa langkah. Instuisiku mengarahkanku untuk mencari sebuah ranting atau benda apapun itu, yang dapat membantu membongkar isi di dalam tanah bawah pohon jati. Ku coba menggunakan ranting-ranting yang berserakan, hasilnya selalu berujung patah. Sudah lima ranting yang patah.

"Hufffttt…" Aku menghela napas kesal. Ranting-ranting itu tidak berhasil membongkar tanahnya. Aku berjalan mendekati sebuah rak kayu berisi deretan polybag yang ditumbuhi bunga mawar. Diantara polybag tersebut, ternyata terdapat sekop kecil. Aku pun bergegas mengambilnya dengan janji pasti akan mengembalikannya ke tempat semula, agar pemiliknya tidak curiga. Segera aku menggali tanah itu, berharap benda itu masih ada di sana. Dan benar. Benda itu masih ada. Aku segera menariknya keluar-sebuah botol kaca kecil. Dari kejauhan terdengar suara deru mobil memasuki pekarangan, aku segera membenahi bongkaran tanahnya, memasukkan botol ke dalam tas, dan mengembalikkan sekop.

"Cari siapa, Mbak?" Seorang perempuan berambut hijau turun dari mobil, disusul seorang laki-laki berpawakan besar dan tinggi. Mereka mendapatiku tengah berdiri di dekat rak kayu.

"Hmm… maaf, saya tadi sudah mengetuk pintu. Tapi tidak aja jawaban." Aku masih mencoba mengatur napasku agar tidak gugup, "Trus, saya lihat-lihat bunga mawar," kataku kemudian diakhiri sedikit senyuman.

"Mari duduk dulu." Aku mengangguk dan mengikuti mereka.

Mereka mempersilakanku duduk di bangku teras, sembari menunggu mereka. Jujur perasaanku gemas sekali ingin mengganti bunga mawar di meja itu. Tapi tentu saja tidak akan aku lakukan. Perempuan itu keluar dan duduk di bangku satunya. Laki-laki tadi tidak ikut keluar. Aku menatapnya sedikit menelisik, tapi aku bersumpah aku tidak mengenal perempuan di hadapanku saat ini.

"Anda siapa? Dan cari siapa di rumah ini?"

"Maaf sebelumnya. Saya Raya, Tan..." Aku sedikit tertahan, bingung ingin memanggilnya apa? Karena jika dipanggil tante kurasa dia masih terlalu muda.

"Panggil saja Reta," katanya kemudian, seperti bisa membaca pikiranku.

Aku tersenyum, "Oke Mbak Reta. Saya ke sini ingin mencari Rio."

Perempuan itu mengernyitkan keningnya. "Sebentar" di masuk lagi ke dalam rumah. Tak lama dia keluar bersama laki-laki tadi.

"Kamu mencari Rio?" Kali ini yang berbicara si laki-laki berpawakan tinggi. "Dia dan keluarganya sudah pindah, dua tahun yang lalu. Saya dan istri saya setelah menikah, yang membeli rumah ini dari keluarganya." Laki-laki ini ternyata suaminya dan mereka sepasang suami-istri baru.

"Kabar terakhir yang kami dengar, mereka pindah ke Bangka Belitung." Lagi-lagi Reta bisa menebak isi kepalaku.

Setelah mengobrol, aku berpamit pulang. Langit sudah menggoreskan merah merekahnya. Aku segera meninggalkan rumah yang kini dihuni sepasang suami-istri muda, yang sudah kuketahui nama suaminya Andre. Sebenarnya, aku tidak benar-benar pulang. Aku duduk di sebuah gubuk kecil di pinggir sawah. Desa ini tidak banyak berubah-pikirku. Aku mengeluarkan botol kaca tadi. Masih ada sisa-sisa kotoran tanah. Kubuka tutupnya. Menarik ujung kertasnya hingga keluar. Aku membaca tulisannya lamat-lamat.

***

  "Kamu nulis apa sih?" Cowok itu mencondongkan tubuhnya agar bisa melihat apa yang tengah ditulis cewek di sebelahnya.

"Kepo." Si cewek reflek menutupi tulisannya dengan tangan. "Kamu buruan nulisnya!"

"Aku bingung mau nulis apa ini"

Cewek mungil di sebelahnya justru cekikikan, "Ini bukan ujian kali. Kamu tulis aja, kamu pengin ngelakuin apa atau punya harapan apa untuk kita berdua."

"Untuk kita berdua?"

"Iya." Cowok itu langsung sibuk menulis.

"Buruan. Panjang banget." Kini gentian cewek itu yang mencondongkan tubuhnya untuk mengintip apa yang tengah ditulis si cowok.

"Yee.. jangan ngintip dong."

"Kalau udah kertasnya digulung, trus masukin ke sini." Cewek itu menyerahkan sebuah botol kaca kecil. Kertas miliknya sudah bertengger di dalam sana. Cowok itu menurut, menggulung kertasnya dan memasukkannya ke dalam botol.

"Buat apaan sih?" Cowok itu masih belum mengerti, apa yang akan dilakukan cewek mungil itu.

"Jadi, nanti kita kubur botol ini. Terus kita buka isinya waktu kita udah lulus nanti." Cewek itu menjelaskan dengan antusias. "Tapi nguburnya d imana ya? Kalau di sekolah takut nggak aman."

"Di halaman rumahku aja. Kan tanah rumahku luas."

"Ide bagus. Kamu emang cerdas."

"Siapa dulu dong Rio. RIO DAMARIS," katanya sombong, yang justru dibalas dengan pukulan dari cewek itu.

Sepulang sekolah mereka ke rumah Rio untuk menguburkan botol itu. Mereka memilih tempat di ujung halaman, di bawah pohon jati.

"Di sini aja. Di sini jarang dipakai tanahnya." Cewek yang menguntit di belakangnya hanya mengangguk. Cowok itu segera menggali tanahnya.

"Yang dalem, biar gak ketawan orang."

"Iya bawel."

Setelah selesai menggubur botol itu, mereka lantas kembali ke teras rumah untuk makan siang yang sudah disiapkan oleh tante Tari-Mama Rio.

"Pokoknya kamu gak boleh buka ya. AWAS!" Cewek itu mengancam dan Rio hanya mengangguk-anggukkan kepala, karena tengah asik menyantap sayur asam buatan mamanya.

Kini sudah memasuki tahun ketiga. Itu artinya sebentar lagi Raya dan Rio akan lulus dari bangku SMP. Mereka tengah sibuk belajar, karena Ujian Nasional tinggal beberapa minggu lagi.

"Yes… Akhirnya bentar lagi aku bisa lihat kamu nulis apa," kata Rio tiba-tiba di sela-sela mereka mengerjakan soal latihan.

"Aku mau ubah aturannya." Rio lantas memukul lengan cewek itu menggunakan buku.

"Aw sakit tau!" Yang dipukul tak mau kalah, membalasnya.

"Kenapa harus diubah? Aku udah penasaran banget dari kelas X. BAYANGIN!"

"Yee.. dikira aku enggak? Pokoknya kalau nanti kita masuk di SMA yang sama, kita bukanya setelah lulus SMA dan bukanya harus sama-sama. Gak boleh enggak. Apa pun yang terjadi." Cewek itu mengulurkan tangannya, "Deal?"

Rio tampak kecewa, karena rasa penasarannya harus tertunda lagi. Tapi akhirnya dia menyepakatinya juga.

"Deal" Rio memang selalu berusaha untuk terus membuat cewek mungil itu merasa senang. Setelah berjuang menghadapi Ujian Nasional, kini mereka sudah memasuki masa putih abu-abu. Serendipity. Itu kata yang tepat untuk menggambarkan mereka berdua. Mereka masuk di sekolah yang sama.

"Ah gak asik, ketemu kamu terus!" Rio hanya cekikikan mendengarnya. "Eh Yo, kita kasih nama yuk buat pohon jatinya. Hmmm… apa ya kira-kira? Bantuin mikir dong!"

Rio yang tengah asik membaca buku, mau tidak mau harus menghentikan kegiatannya sejenak, "Zoya. Artinya kehidupan"

"Wah Bagus! Tau dari mana tu?"

"Nih" Rio hanya menganggkat buku yang tengah dibacanya. Cewek itu tertawa.

***

Ada sedikit rasa rindu dalam relung dadaku saat ini. Aku masih melanjutkan membaca gulungan kertas itu, kali ini milik Rio.

Setelah lulus SMP Rio ingin:

1. Menembak Raya
2. Mengajak Raya ke Bukit Sempu
3.Mengajak Raya ke pantai naik motor
4.Mengajak Raya keliling Jogja malam hari naik motor
5.Mengajak Raya menikah di KUA. HAHAHA :D

Aku tertawa geli melihat isi dan tulisan Rio yang seperti ceker ayam. Ada-ada saja kelakuan anak itu. Amygdalaku segera membayangkan sosok Rio saat masih sekolah dulu. Ketika SMP yang badannya sedikit gemuk dan pendek, saat SMA dia tumbuh tinggi tapi tubuhnya terlihat lebih kurus. Kaset memori pikiranku, seakan memutar cepat dan menariknya ke dalam sebuah kumparan yang berisi kenangan. Miniatur kenangan pada masa putih abu-abu.

***

Cowok itu memandangi gadis di depannya yang tengah sibuk berpikir untuk memecahkan soal matematika.

"Apa liat-liat! Bantuin mikir, kek!" Rio tersentak kaget, rupanya Raya tau bahwa dirinya sedang diperhatikan.

"Ra, kamu mau nggak jadi pacar aku?" Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa tedeng aling-aling. "Aku serius," katanya meyakinkan. Raya sontak menghentikan kegiatan menulisnya dan menatap Rio tajam. Selanjutnya, dia celingukkan takut kalau orang tuanya mendengar.

"Aku serius Ra. Aku suka sama kamu dari SMP. Kamu mau nggak jadi pacar aku?" Kali ini Rio setengah berbisik. Mengerti gelagat Raya yang takut jika orang tuanya dengar. Rio masih setia menunggu jawaban. Di dalam sana, hatinya berdegub sangat cepat tapi ia berusaha setenang mungkin dihadapan Raya. Cewek yang ditaksirnya justru membuat mimic ekspresi menyebalkan, seolah-olah berpikir keras.

"Buruan. Masak aku digantung gini kayak jemuran"

"Hmmm… Mau gak ya…." Raya kemudian tersenyum dan mengangguk.

"YESSSSSSSS!" Rio berteriak keras, yang disusul lemparan buku dari Raya karena berisik. Mereka pun tertawa bersama.  

Mereka menjalani masa putih abu-abu layaknya tokoh-tokoh di dalam novel romansa. Indah. Seakan dunia milik berdua. Nyaris sempurna. Tapi, pada kenyataannya memang tidak ada yang sempurna di dunia ini. Ketika kenaikan kelas XI, mereka harus menerima kenyataan bahwa Raya dan sekeluarga harus pindah ke Jakarta.

"Aku mau putus."

Malam ini langit mendung, itu ditandai tidak adanya bintang di sana. Setelah mengatakan itu, Raya segera melangkah pergi dari rumah Rio. Rio hanya terpaku, memandangi punggung gadis itu yang perlahan mulai menjauh. Langit mulai gerimis.

"Trus, kertas botolnya gimana?" tanya Rio pada diri sendiri, karena Raya sudah pasti tidak akan mendengar.

Keesokan harinya, Raya dan keluarganya sudah berangkat pindah ke Jakarta. Tanpa memberi pesan apa pun ke Rio, selain kata 'putus' malam harinya.

***

Kamu berhasil menembakku Rio. Gumamku.

Aku mengambil bolpen bertinta biru, ingin membuat tanda centang di samping nomor satu. "Sial", tutup bolpennya justru terjatuh. Aku lantas sibuk mencarinya, takut jika jatuh ke sawah. Tiba-tiba seseorang menjulurkan tangannya dan menyerahkan sebuah tutup bolpen.

"Wah makasih, Mas, bolpen ini oleh-oleh dari Amerika, sayang kalau tutupnya ilang." Ketika Aku mendongak, aku seakan tak asing dengan sosok dihadapanku.

"Rio?"

"Raya? Ngapain disini?"

"Harusnya gue yang tanya, lo ngapain di sini? Bukannya lo udah pindah ya? Ke Bang-"

"Wah sekarang ngomongnya gue-elo ya. Dasar anak Djakartah."

Aku tertawa kecil. "Lo bukanya udah pindah ke Bangka Belitung?"

"Nyari ke rumah?" Rio mengkalungkan kameranya. "Iya. Sekarang lagi ada projek di Jogja. Lokasinya kebetulan disini. Lo sendiri ngapain?"

"Ciee gue-elo" Kami pun tertawa bersama.

 "Gue… habis ngambil botol kaca kita"

Rio tampak berpikir sejenak. Kemudian katanya bersungut-sungut, "Eh? Sialan lo. Kok lo curang sih. Katanya harus diambil bareng-bareng apa pun yang terjadi. Gue yang lo tinggal aja masih setia tu gak ingkar janji"

Perasaanku sedikit getir, kala Rio mengatakan kalimat itu. Itu benar-benar membawaku pada perasaan delapan tahun lalu. Perasaan bersalah sekaligus kehilangan.   

"Lo mau wujudin wishlist-nya nggak?" Aku berusaha mencairkan suasana.

"Eh gue liat dulu dong kertasnya. Dulu gue nulis apa aja sih." Raya menyerahkan gulungan kertas milik Rio. Rio tersenyum saat membacanya. "Anjir geli. HAHA" Aku ikut tertawa kecil.

"Eh, lo udah baca ya?"

Aku menggeleng, "Belum." Jelas saja jawaban bohong. Aku tidak mungkin bilang kalau aku sudah membacanya. Aku takut hal itu dapat menyakiti Rio lagi, karena sudah ingkar janji. Rio yang kini duduk di sebelahku tampak sedang memikirkan sesuatu, pandangannya menerawang ke sawah di depan kami. Aku menunduk tak berani menatapnya, kakiku sibuk membuat pola lingkaran di tanah.

 "Ra?"

"Hm?"

"Gue mau wujudin wishlist ini" Aku menatap matanya. Ya Tuhan.

Keesokan harinya, Rio sudah menunggu di lobby penginapanku. Dia mengekan kemaja navy, lengannya digulung sampai siku. Ada perasaan tak biasa saat melihat Rio kembali. Entahlah-

"Yuk!" Rio mengendarai motornya. Motor vespa classic modern ala-ala anak kekinian.

"Berapa lama di Jogja?" Suaranya terdengar sayup-sayup karena bising oleh angin dan kendaraan lain.

"Sebulan. Lo?" Aku sedikit berteriak, agar terdengar jelas.

"Dua minggu. Ngapain ke Jogja lagi?"

"Mau wujudin wishlist. HAHA" Aku menjawab sembrono.

"Bocah gendeng." Kami pun tertawa.

Motor Rio meliuk-liuk dijalanan. Siang ini Jogja dipadati kendaraan. Aku mengamati bangunan-bangunan yang kami lewati. Tidak banyak berubah, hanya beberapa nama toko yang berganti. Tanpa sadar aku mengukir senyum.

"Mau kemana kita?"

" Ke daerah Bantul"

"Ngapain?"

"Wujudin wishlist" Aku pun menepuk pundaknya. Dan kami tertawa lagi.

Sekitar 40 menit kami menempuh perjalanan. Hingga kami tiba di sebuah daerah bernama "Sempu." Kami memarkirkan motor di sebuah penitipan sepeda. Kemudian berjalan kaki sekitar 1,5 kilometer untuk tiba di lokasi yang akan dituju. Selama berjalan kami masih saling mengobrol. Ternyata Rio sempat kuliah di Surabaya, kemudian berhenti dan bekerja di sebuah perusahaan swasta. Aku juga mengatakan padanya, jika aku saat ini masih kuliah di UI. Kami tiba di sebuah air terjun. Airnya sedang mengalir sangat deras. Beruntung. Itu kata penjaga karcis di depan gerbang. Kami pun menikmati panorama ini.

Rio mengantarkanku kembali ke penginapan pukul 21.15.

"Besok masih ada waktu?"

Aku mengangguk. "Dua hari gue kosong. Kenapa masih ada wishlistnya?" Rio segera mengeluarkan kertasnya. Membaca dan ekspresinya dibuat seolah-olah sedang berpikir keras. Aku terkekeh melihatnya.

"Ada banyak nih, 10 list. Seharian besok dua tempat. Deal?" Aku mengangguk dan tertawa. Aku jelas sudah tau isinya. Aku hanya berpura-pura. Tapi yang membuatku ragu, untuk wishlist nomor lima. Entahlah-aku segera menepis pikiranku. Aku lelah ingin segera tidur. Rio pun sudah melenggang pergi. Sesampainya di kamar, aku membuka kertas harapan miliku. Aku pun tersenyum.

Hari ini kami berangkat lebih pagi dari hari kemarin. Karena Rio sudah mengatakan bahwa kami akan mengunjungi dua tempat sekaligus. Dia juga berpesan untuk membawa baju ganti. Kami melewati jalanan yang sedikit lenggang-mungkin karena masih pagi. Motor kami mengarah ke Gunung Kidul, ke Pantai Jungwook. Sepanjang perjalanan kami mengoceh, membuat lelucon tidak jelas yang anehnya membuat kami berdua tertawa. Sampai dilihatin orang-orang. Bodo amat, aku sedang senang hari ini. Rio juga nampak senang. Akhirnya kami tiba di pantai Jungwook. Kami benar-benar menikmati momen-momen saat ini. Bermain air, memotret, membuat istana pasir, lari-larian, mencari kerang, menikmati Pop mie dan kelapa muda. Sebelum senja, kami sudah harus meninggalkan pantai. Melanjutkan perjalanan, menuju Taman Sari.

"Ini bukan bagian dari wishlist. Gue ada sedikit kerjaan di sini, nanti habis dari sini baru kita lanjut. Gak papakan?" kata Rio saat kami tiba di Taman Sari.

Aku mengangguk. Rio ternyata bekerja di sebuah perusahaan majalah wisata, sebagai fotografer. Hari sudah hampir sore. Rio masih sibuk memotret setiap bangunan tua itu. Dia juga sesekali menepi, menulis sesuatu di sebuah buku berwarna merah. Aku tidak merasa keberatan menemaninya bekerja. Entah mengapa aku merasa senang, bisa kembali dekat bersamanya. Apa Rio juga merasa begitu? Setelah selesai, Rio membawaku keliling Jogja. Jogja benar-benar indah pada malam hari. Kami melewati Malioboro, Tugu Jogja, gang-gang perkampungan, sampai Rio membawaku ke sebuah tempat. Dari sini kami bisa melihat suasana Jogja dari ketinggian. Kami tengah menikmati Jagung bakar dan segelas kopi. Tiba-tiba ada kecanggungan diantara kami. Sampai Rio memecah keheningan.

"Sebenarnya, aku masih ada satu harapan." Aku menatap wajahnya. Dadaku terasa bergemuruh saat ini.

"Ciee.. ngomongnya udah pake aku." Aku berusaha mencairkan suasana dan kami pun tertawa.

"Apa?"

Rio seketika diam.

"Mengajakmu menikah di KUA"

Aku benar-benar tidak menyangka Rio akan mengatakan itu. Bahkan aku berpikir itu hanya tulisan seorang bocah SMP. Dan realitanya kami pernah terpisah selama delapan tahun. Apa selama itu perasaan Rio belum berubah? Apa tidak ada sosok perempuan yang selama ini menemaninya? Hawa dingin seakan semakin mencekam. Lidahku terasa kelu.

"Yo gue mau balik. Masih ada kerjaan." Aku segera beranjak pergi. Dia menyusulku. "Eh, tunggu dong, Ra. Gue belum tau isi kertas lo"

Selama perjalanan pulang kami hanya diam. Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari, ketika kami tiba di tempat aku menginap.

"Ra" Dia menarik tanganku sebelum aku beranjak masuk. "Maaf kalau lancang. Tapi itu memang harapan yang kutulis. Dan aku ingin mewujudkannya"

"Itu cuma pikiran ngaco bocah SMP." Nadaku sedikit meninggi. Aku menepis tangannya kasar.

"Enggak Ra. Itu bukan cuma pikiran bocah SMP." Mata elangnya menatapku tajam, "Aku serius, Ra. Bahkan selama ini aku masih berharap kita masih bisa ketemu."

"Apa kamu gak dendam, setelah aku memutuskan secara tiba-tiba. Secara sepihak." Kali ini air mataku tidak dapat kucegah lagi.

Dia menggeleng. Memelukku.

"Ini kertas punyaku." Aku menyerahkan kertas harapanku. Setelah menerimanya, Rio melenggang pergi. 

***

Selepas Rio membuka kertas dari Raya. Dia lantas menghubungi gadis itu. Telponnya masih memutarkan nada sambung. Tangannya meremas-remas kertas itu dengan gemas. Telponnya terjawab.

"Hallo?"

Rio meletakkan ponselnya di sampingnya. Kemudian membaca kertas itu lagi. Jauh di lubuk hatinya ada perasaan yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata ketika membaca kalimat itu: Aku ingin terus bersama Rio. Selamanya.  Kalimat dari gadis yang sangat ia sayangi.

"Hallo Rioooo?"

Rio pun tersenyum.

 

 


Share:

Post a Comment

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis