8 tahun yang lalu
Krieet
"Pagi, Pak!" sapaku pada penjaga perpustakaan sekolah.
"Pagi," balas bapak itu dengan senyum. Beliau sangat hafal akan kedatanganku ke perpustakaan di waktu istirahat yang hanya beberapa menit. Apalagi kalau bukan untuk membaca?
Lantas, aku menuju sebuah rak di mana semua judul buku yang beragam dengan penerbit yang sama, terpampang rapi di sana. Bahkan, banyak judul buku baru yang tidak pernah kulihat sekali pun. Aku pun langsung mengambil salah satu buku yang menurutku bagus kemudian membacanya dengan lahap.
Ini adalah langkah awal di mana aku memasuki dunia cerita berkembang menjadi dunia tulis-menulis. Yang hanya suka membaca berkembang menjadi suka menulis. Kalau tidak salah, buku yang kubaca waktu itu, bercerita tentang suka duka menjadi anak yang tinggalnya jauh dari orang tua dan tinggal di sebuah bangunan bernama 'asrama'. Dimulai dengan malu-malu berkenalan, lalu tidur di satu ruangan dengan banyak orang, bertatap muka dengan orang itu-itu selama 24 jam, suka-duka, bahagia, bahkan sedih pun bersama. Hal itu, membuatku tertantang untuk mencoba menjadi anak 'asrama'. Sekaligus membuktikan, apakah benar yang diceritakan di buku ini?
***
Beberapa tahun setelah masuk SMP
Aku bersekolah di salah satu SMP favorit di kota itu, sekolah swasta yang sistemnya boarding school, seolah menjawab rasa penasaran akan kebenaran dalam buku cerita yang kubaca waktu SD.
Kalian tahu? Yang kubaca di cerita itu hampir 100% benar dan ini terjadi dalam hidupku.
Makan bersama, tidur bersama, belajar bersama. Bahkan suka-duka pun bersama. Banyak kenangan yang masih melekat di ingatanku sampai sekarang. Entah itu sekolahnya, kegiatannya, keributan, dan lainnya. Aku bahkan pernah berencana untuk membuatkan novel tentang perjuangan anak-anak pramuka hingga dikirim ke luar pulau
Yang menjadi perbedaanya adalah....
Kami diajari begitu keras. Di jam 4 subuh, mata kami dipaksa untuk dibuka, bersamaan suara ketukan pintu dengan suara dan kalimat yang sama, seolah kami terlanjur hafal akan nada para Ustaz atau Ustazah yang membangunkan kami
"Ayo..bangun…bangun…sudah waktunya shalat subuh…ayo…bangun…bangun…."
Jika ada anak kamar yang susah dibangunkan. Cara efektifnya adalah, dengan membuat rintik hujan di tangan yang sukses membuat matras yang ditiduri basah di beberapa bagian. Lalu, saat anak-anak di kamar mandi yang dingin untuk berwudu. Tiba-tiba, speaker dengan suara kepala asrama yang tegas dan tidak main-main dalam berkata, sukses membuat kami lari terbirit-birit menuruni tangga yang jumlahnya tidak terkira.
"Bagi yang belum turun dari asrama, berdiri di bawah masjid. Saya akan hitung mulai dari 1….2…3…"
Dan, di masa SMP itu pula, aku memanfaatkan waktu dan kesempatan yang ada untuk mengikuti lomba yang berkaitan dengan dunia tulis-menulis. Salah satunya, aku pernah mengikuti lomba FL2SN. Sayangnya, karena keterlambatan dalam mencari informasi, aku tidak jadi mengikuti lomba itu.
Beberapa bulan kemudian, aku pun ditunjuk anak sekelas untuk mengikuti lomba baca puisi yang diselenggarakan oleh OSIS di sekolah kami. Aku ragu dengan hal itu, mengingat ini adalah pertama kalinya bagiku membaca puisi di depan umum. Lagipula, aku bukan orang yang bisa menghayati sesuatu secara dalam.
Tapi, karena tidak ada pilihan lain, dan tidak ada yang mau ditunjuk untuk mengikuti lomba itu. Akhirnya, aku bersedia dan berusaha untuk menghayati tiap kalimat dalam puisi yang ditentukan. Alhamdulillah, aku memenangkan lomba itu meskipun aku tidak ingat juara berapakah waktu itu.
Di sinilah inti ceritanya….
Saat itu, aku sedang duduk di antara orang-orang yang berhalangan untuk melaksanakan kewajibannya. Di mana banyak suara dengan nada yang beragam, membuat ramai masjid asrama. Aku pun menatap kosong pada orang-orang yang shalat Zuhur, beberapa detik kemudian menunduk, menatap kertas kosong di pangkuanku.
Entah mengapa, tiba-tiba tanganku menari dengan sendirinya, menggoreskan lembar kertas dengan seenaknya. Diawali dengan huruf yang membentuk kata, kemudian membentuk kalimat. Setelah menulis kalimat itu, yang kulakukan hanya berdoa dalam hati, kemudian menyimpannya dalam binder yang biasa kutulis ketika ada materi yang dibawakan oleh kepala asrama.
"Pengen menang di lomba cerpen"
***
SMA
Ternyata, Tuhan itu Mahabaik.
Skenario yang ia buat, begitu indah tiada tara.
Itulah yang kurasakan saat memasuki SMA. Beberapa bulan setelah lulus dari SMP, aku pun melanjutkan pendidikan di kota asal, di mana rumahku berada. Kala itu, aku masuk ekskul cerpen. Di sana, kami dibimbing dan diajari bagaimana cara menulis cerpen dengan baik, menulis puisi. Bahkan, saat ada lomba yang mencakup dunia tulis-menulis, pembina kami dengan semangat menyuruh kami mengikuti lomba.
Ini terjadi pula padaku…
Saat itu, entah kenapa pembina ekskul cerpen memanggilku.
"Nabil. Kamu mau tidak ikut lomba menulis cerpen?"
"Tentang apa, Bu?" tanyaku
" Ini kan bulan bahasa, jadi temanya berkaitan dengan Bahasa juga."
"Itu, tema yang sulit" pikirku, dengan cepat aku menolak tawaran itu. Karena aku yakin itu tema yang sulit. Bu Afi, pembina ekskul cerpen hanya mengiyakan saja.
Sebenarnya, untuk lomba edisi bulan bahasa sudah ada kakak kelas yang mewakili. Tapi entah kenapa, ketika H-5 menuju lomba, kakak kelas secara mendadak tidak jadi mewakili sekolah kami. Dan itu bersamaan dengan aku yang tiba-tiba saja menemukan konsep cerpen yang akan kubuat dalam lomba nanti.
Besoknya, aku menemui beliau di kantor guru sembari berkata.
"Bu, saya mau ikut lomba itu."
Kemudian kami pun berbicara apa saja selama itu mencakup lomba cerpen yang diselenggarakan demi menyambut bulan bahasa. Setelah puas bertanya, aku pun mengucapkan terima kasih dan segera menulis ide serta konsep cerpen yang tertanam di kepalaku agar tidak hilang seiring berjalannya waktu.
Aku termasuk orang yang ide dan konsep menulis cerpen cepat mengalir di malam hari dan secara mendadak . Maka, ketika malam Sabtu menuju Sabtu pagi, aku pun langsung mengetik hasil cerpenku di laptop dan menuliskan kembali di kertas portofolio mengingat, lomba yang diadakan tidak boleh diketik dan harus tulis tangan. Aku pun berusaha menulis dengan rapi sekali, karena aku termasuk orang yang tulisannya seperti cakar ayam, kecil dan susah dibaca.
Besoknya, hari di mana lomba menulis cerpen dimulai pukul 11 pagi. Dengan berbekal kertas portofolio hasil latihan kemarin malam, dan uang untuk berangkat menuju tempat lomba tersebut diadakan. Aku pun berpamitan kepada orang tuaku seraya memohon doanya agar aku menang di lomba kali ini. Mereka pun mengiyakan dan menyemangatiku saat itu.
Hari itu hujan dengan rentang waktu yang lumayan lama, saat aku sampai di tempat lomba. Aku langsung duduk dan mengeluarkan kertas portofolio baru dan pulpen. Acara dimulai dengan kata sambutan dari pendiri organisasi, panitia penyelenggara, dan lainnya. Kemudian, kami diberitahu tentang apa saja kriteria penilaian cerpen. Setelah semua selesai, kami pun mulai menulis cerpen dengan judul yang beragam serta dengan isi cerita yang berbeda.
Sebelum aku mulai menulis, mataku mengedarkan ke arah sekeliling. Depan, belakang, dan samping dipenuhi dengan jenis orang dengan tingkat pendidikan serta sekolah yang beragam. Semua menjadi satu di tempat ini. Angin sejuk hasil ribuan rintik hujan membuat pikiran segar dan tenang.
Beberapa menit sejak lomba dimulai, seorang anak di bawahku datang terlambat. Ia pun langsung duduk di sebelahku, aku pun menolehnya dan tersenyum, ia membalas senyumku. Kami diberi waktu 15 menit untuk menulis cerpen, di saat orang-orang fokus dan sibuk menulis. Aku sempat berbasa-basi sebentar dengan anak itu
"Hai, namamu siapa?"
"Namaku Asyifa, Kak."
"Oooh..kamu SMP atau SMA?"
"SMP, Kak."
"Di mana?"
"Di SMP Negeri 5 Bengalon, Kak."
"Oalah, semangat ya, semoga kamu menang"
"Amiin…makasih ya, Kak."
"Sama-sama, Dek."
Malamnya, di pukul 7. Pembina ekskul cerpen membawa berita bahagia, yang tentu saja membuatku melompat serta langsung minta izin pada ibuku agar aku pergi malam untuk mendengar pengumuman hasil lomba siang itu. Ibuku juga turut senang mendengarnya, dan langsung mengizinkanku di malam itu juga. Sesampainya di tempat lomba, kami disuguhkan dengan banyak orang tua yang datang demi mendengar nama anaknya keluar sebagai juara, para karyawan café yang bekerja diiringi musik akustik sebelum mengumumkan lomba tadi pagi.
Detik-detik pengumuman lomba, seniorku berkata
"Selamat ya, kamu menang. Tidak apa-apa kalau sekolah dan teman-temanmu tidak tahu akan kemenanganmu. Kami tetap mendukungmu" itulah yang kuingat terakhir kali. Lalu, saat pengumuman pemenang juara 1 tingkat SMA. Aku sudah duduk disana, dengan jantung berdetak kencang dengan harapan namakulah yang keluar, dan pasrah jika nama orang lain yang disebut.
"Juara 1, tingkat SMA dengan skor 1500 diraih oleh…"
"Nabila Aulia Cleviandra dari SMA Negeri 1 Sangatta Utara, dengan 1000 poin."
Mendengar namaku disebut, aku langsung berdiri dan melangkahkan tungkaiku menuju panggung, kebanyakan yang namanya keluar sebagai juara tidak masuk jadinya diwakilkan oleh orang tua ataupun teman dekatnya. Kami diberi hadiah oleh panitia penyelenggara, tidak lupa foto bersama. Setelah itu acara ditutup dengan musik akustik dan musikalisasi puisi yang dibawakan oleh temanku.
Sejak kejadian itu, aku semakin dipercaya teman sebagai perwakilan kelas untuk mengikuti lomba cerpen atau puisi yang diadakan di sekolah dengan peserta perwakilan tiap kelas. Baik kelas 10,11 maupun 12. Hasilnya, namaku selalu keluar menjadi juara, kadang aku pernah menjadi juara harapan
Aku pun teringat akan kertas coretan yang kubuat 5 tahun yang lalu, segera kucari kertas coretan itu. Setelah menemukannya, aku pun tersenyum bangga akan capaianku yang tertulis di kertas itu, kemudian kertas itu kusimpan dengan baik.
Beginilah kisahku dalam mewujudkan impian yang berawal dari kertas yang kucoret pada 5 tahun yang lalu. Dan aku berharap, semakin banyak harapan dan impian yang kutulis di kertas coretan lainnya akan menjadi nyata.
Sampai disini dulu kisahku kali ini, jika ada kesempatan dilain hari. Aku akan menceritakan pengalamanku yang lain..
---THE END---
Masya Allah
ReplyDeleteSemoga Allah mudahkan segala urusannya
Sukses terus ya dekk chiko🤗🤗🤗
ReplyDeletemasyallah nabila, semangat nabil....
ReplyDeletehai Chiko, perkenalkan aku juga punya nama Nabilla Aulia,cerpen mu keren banget,ah sesal saya di ujung cerita ketika tau kamu punya sebuah cerita di aplikasi wattpad, kapan kapan saya akan baca deh,btw saya sama kamu agak berbeda,kalau kamu gemar menulis nah sebaliknya saya gemar membaca,haha nama Nabila memang mempunyai sejuta sifat unik,ohya saya follow Ig kamu lho
ReplyDelete