Cerpen: Ingin Buku Baru

Ingin Buku Baru


 

Oleh: Better

 

Hallo lembaran putih kosong, siapkah kau kuisi dengan ceritaku?

Semua di sini hanya tentang aku, tidak ada orang lain, hanya aku yang boleh bercerita, kamu, kamu, dan kamu hanya diizinkan untuk membaca. "Baca dengan telingamu,  ya!" Aku memohon.

Si paling setia. Aku menyebutnya buku. Aku terbiasa menuliskan semua cerita sedih dan bahagia dalam kertas-kertas buku. Kadang pada lembaran buku catatan matematika, biologi, kimia dan kertas-kertas lainnya yang ada di sekelilingku saat aku terpikirkan untuk menulis. Aku merasa bahwa kertas-kertas ini mendengarkanku dengan sangat baik. Bahkan tidak pernah memotong pembicaraanku, dan mengingatnya dengan sangat baik pula semua yang aku suarakan kata demi kata.

Walau demikian aku  juga sering bermimpi untuk punya teman cerita yang serupa denganku. Namun, sejauh ini aku belum mendapatkannya, karena itu aku sering bercerita kepada siapa saja, tidak mengenal kawan atau lawan, orang asing atau bukan, yang penting aku cerita. Aku masuk di mana pintu terbuka, tidak peduli pintu itu mengarah ke mana. Aku masuk sekadar untuk membunuh rasa penasaran. Bahwa ini rasanya bercerita dengan manusia.

            Aku akan memulainya dari sini….

Saat itu aku bercerita tentang ayahku yang mengidap sakit jantung, saat aku berusia 11 tahun. Aku dengan sedih kembali mengingat momen-momen yang seolah memaksaku menjadi dewasa. Aku harus mengerti keadaan kedua orang tuaku yang menghabiskan banyak waktu di rumah sakit karena tentunya Ibu harus merawat  Ayah di sana. Aku yang harus bangun jam 4 pagi untuk membuat gorengan untuk dijual di sekolah, aku yang harus memberi makan beberapa peliharaan di rumah, seperti ayam-ayamnya Ayah, dll, yang tidak bisa kusebutkan. Dalam benakku saat itu mereka mungkin akan berkaca-kaca, saat mendengarkan ceritaku. Namun, aku salah besar, mau tahu apa yang kudengarkan dari pendengarku saat itu?  

            "Ha-ha-ha, lah kalau saya dengar ini dari orang lain mungkin saya akan menangis, terharu, sedih, kasian, tapi kalau kau yang cerita jadi lucu." Si X tertawa.

            "Iya, eww, kenapa jadi lucu kalau kau yang cerita? Ha-ha-ha," lanjut si Y.

            Saat itu aku senang karena dengan cerita sedihku saja aku mampu membuat orang lain tertawa bahagia, apalagi dengan cerita-cerita humorku. Mungkin saat itu aku lagi-lagi "lucu-lucunya" dan dikenal sebagai pribadi yang lucu oleh teman-temanku.

Lalu dengan berjalannya waktu, aku tumbuh menjadi si muka tua yang tidak lucu lagi. Aku menjadi sosok yang serius. Kemudian aku tergabung dalam satu kelompok sharing. Aku cukup aktif memberikan saran dan pertanyaan setiap sharing apabila diberi kesempatan untuk menyampaikannya.

Suatu ketika dalam sebuah sharing  saat aku hendak menanggapi sharing dari C, si B berseru, "Lala dari tadi pasti bicara dalam hatinya, kapan aku diminta ngomong ni?" Seolah-olah aku begitu ingin terus berbicara, padahal kenyataannya tidak demikian. Mencoba berpikir positif, mungkin ini hanya lelucon.

Kalau dipikir-pikir kok aku sering dijadikan lelucon, ya?

        Entah aku atau ceritaku yang semenarik itu untuk ditertawakan aku pun tak tahu. Pengalaman-pengalaman ini membuatku muak bercerita dengan manusia. Bercerita dengan manusia dapat menimbulkan efek traumatis, bahkan hanya dari cara mereka menanggapi setiap keadaaan.

Sampai saat ini lembaran kertas kosong masih menjadi teman terbaikku. Jika ada yang lebih baik mungkin itu sebuah buku baru.

 


Tentang Penulis

Sebut saja Better, karena itu snack kesukaanku. Selain suka better ku juga suka membuat coretan semacam ini. Nggak jelas , namun aku  ingin apa yang aku pikirkan terpublikasi. Aku sekarang lagi merantau di kota Bogor.

Ig: @itsbetterchocolate

Share:

Post a Comment

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis