Cerpen: I See U




I See U

Oleh: Azifaa Khair (@azifaa_ch)


"Nessa."

"Hm."

"Hei, kalau dipanggil itu dijawab yang benar, Ness!"

Nessa membuka matanya. Manik bulatnya langsung bertatapan dengan netra milik Alden. Iris cokelat yang lebih dominan ke arah hitam tepat di tengah samudera putih yang luas itu mengarah tepat padanya, seakan menyiratkan kekhawatiran.

Bukan seakan lagi, tapi itu memang terlihat kentara.

"Kamu sakit?" tanya pemuda berambut kecokelatan di hadapannya itu dengan cemas.

 "Senior, aku—"

"Badanmu panas. Ayo pulang, kita ke rumah sakit." 

Alden tidak memberikan Nessa kesempatan untuk bicara, terlanjur menyibak poni perempuan itu, merasakan suhu hangat menguar dari dahinya.

Nessa menepis tangan Alden. "Aku tidak sakit."

"Lalu ini apa?" Alden memegang dahi  Nessa sekali lagi, memastikan suhunya. Masih terasa seperti sebelumnya. Naik dari suhu normal yang biasa.

"Aku tidak tahu, mungkin hanya efek dari begadangku tadi malam," ungkap  Nessa refleks.

Gerakan Alden terhenti. Matanya langsung terarah pada Nessa yang langsung menelan ludah, menyadari kalau dia sudah salah memilih kata-kata.

"Kenapa begadang?"

Nessa menggigit bibir, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menatap mata Alden yang mengedarkan tatapan intimidasi. "Ada tugas," jawabnya patah-patah. 

Alden mengernyit. Beberapa detik kemudian, ia menghela napas. "Brian memintamu mengerjakan tugasnya lagi?" tembaknya.

Sepertinya terkaan Alden tepat, karena setelah ia mengeluarkan tebakan itu, raut wajah Nessa seketika berubah. Matanya melebar mendeskripsikan keterkejutan yang nyata—Alden bisa membacanya dengan jelas. Namun, dia masih berusaha menyangkal. 

"Tidak, dia tidak menitipkan tugas fisikanya padaku kemarin." Nesaa menggeleng cepat, tanpa menyadari bahwa perilakunya itu justru membuat Alden dengan cepat memahami fakta bahwa yang terjadi adalah yang sebaliknya.

"Nessa ...." Alden menghela napas, mengusak rambut perempuan itu. "Kukira kamu sudah cukup pintar untuk membedakan mana orang yang tulus padamu atau hanya memanfaatkanmu."

Netra Nessa berkerjap. "Aku ...."

"Dengar, tidak ada gunanya kau menyukai orang yang bahkan berkedip tidak peduli saat kau rela menghabiskan waktu berhargamu sampai sakit seperti ini, hanya untuknya." Alden berujar gusar, menekankan tiap kata-katanya.

Nessa menggigit bibir. Menunduk segera saat merasakan matanya memanas. Itu benar, memang tidak ada gunanya, bahkan Brian sudah memiliki seseorang yang lain. Dia hanya mencoba, berusaha menarik perhatian Brian meski itu hanya sekecil debu. Nessa ingin Brian melihat ke arahnya, setidaknya sekali saja. Nessa ingin Brian tersenyum padanya, tulus hanya untuknya, setidaknya sekali saja.

Meski tentu saja, semua itu hanya khayalan belaka yang tidak mungkin terjadi. Dia sadar kalau posisinya sama sekali tidak memungkinkan. Orang ketiga yang selalu mendapat peran antagonis dalam drama, yang selalu dibenci penonton karena merusak hubungan dua tokoh utama. Nessa tahu itu, tapi ... entahlah, hatinya masih saja menyimpan secuil harapan. Bahwa Brian akan menoleh padanya, setidaknya satu detik saja, suatu hari nanti.

"Nessa. Ayo pulang? Kuantar, ya?"

Nessa mendongak, tidak menyangka Alden masih berdiri di hadapannya. Tatapan cemas seniornya di kampus itu nyaris saja membuatnya luluh saat ia mendadak teringat sesuatu.

Kenyataan bahwa Alden hanya sekadar iba padanya.

Tentu saja, Alden adalah tipe ideal semua gadis di kampus. Banyak yang menaruh hati padanya, seniornya itu sungguh sempurna. Mengesampingkan tingkahnya yang terkadang 'humoris berlebihan', semua memandangnya di atas rata-rata dengan penampilan dan fitur wajah yang paripurna. Sifat lucunya justru menambah poin plus di mata Nessa.

Dengan semua gadis yang mengejarnya, tidak mungkin Alden sampai seperti ini padanya selain  karena iba, benar, kan? Waktu Alden terlalu berharga untuk dibuang dengan menaruh perhatian padanya yang masih terpikat oleh Brian. Lagi pula, ia tak terlalu suka dikasihani.

"Terima kasih tawarannya, senior, tapi maaf, aku akan pulang sendiri." Nessa berdiri, membungkuk sebentar pada Alden yang terpaku menatapnya hingga ia berjalan keluar kelas. Menyisakan sang pemuda yang masih setia menancapkan pandangan pada juniornya itu hingga menghilang di balik pintu, lalu menghela napas.

Sebenarnya, Alden juga berada dalam posisi yang sulit. Posisi di mana ia hanya bisa melihat orang di mana dirinya diam-diam menaruh rasa, masih terpikat pada sosok lain—yang dengan kurang ajarnya selalu memanfaatkan situasi perasaan sepihak itu. Posisi di mana ia seakan tak terlihat, meski dirinya selalu berusaha agar bisa senantiasa berada di samping orang itu.

Ya. Setiap hari Alden selalu menahan diri agar tidak meninju Brian, yang selalu seenaknya melukai Nessa-nya. Karena dia tahu, menyakiti Brian akan membuat Nessa ikut terluka. Setiap hari Alden harus menahan sesak, karena ia tahu, yang ada di mata Nessa hanya Brian seorang. Tidak ada dirinya, bahkan sekedar siluetnya pun tidak. Harapan Alden untuk Nessa sama besarnya dengan harapan Nessa untuk Brian, bahkan mungkin lebih besar.

Untuk sekadar ditatap meski hanya untuk sedetik. Untuk sekadar diberi senyum tulus meski hanya untuk sekali. Hati Alden selalu menyimpan secuil harapan. Bahwa Nessa akan menoleh padanya, suatu hari nanti.

Alden mengembuskan napas, melangkah keluar kelas. Matanya langsung terarah pada Nessa yang rupanya masih berdiri di depan gerbang kampus, masuk ke dalam sebuah taksi. Senyum tipis terukir di bibirnya saat taksi itu mulai melaju, menjauh dari sana.

"Cepat sembuh, hati-hati." Tanpa sadar ia bicara selagi sudut bibirnya terangkat. "Semoga besok kamu bisa melihat ke arah seseorang yang sudah lama menantimu." 


         



Share:

Post a Comment

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis