Oleh : Dyah Rahmadhani Saraswati
Lelaki
paruh baya yang tengah duduk termenung di depan komputer itu, Zayn. Beberapa
hari terakhir wajahnya tampak murung. Tak ada sinar mentari yang terbit dalam
rautnya yang tampan. Hanya kekelaman yang selalu terbayang. Pikirannya pelik,
runyam, berkarat. Ya, berkarat karena telah lama terbengkalai oleh perasaan
yang tak ada habisnya.
Tok tok tok!
Suara
ketukan pintu membuat Zayn terbangun dari lamunannya. “Iya masuk!”
“Ini
ada beberapa dokumen yang harus Bapak koreksi,” ucap perempuan yang baru saja
masuk ke ruang kantornya. Zayn sangat mengenalnya. Bahkan melebihi siapa pun.
Namun, kedekatan itu tak berarti apa-apa tanpa restu dari sang ibunda.
“Rida—”
panggil Zayn terpotong. Rasanya dia tak mampu melanjutkan ucapannya. Perempuan
itu lantas menatap kelu atasan sekaligus pemilik hatinya yang tertunda.
“Iya,
Pak.”
“Maafin
saya.”
“Bapak
nggak salah apa-apa kok. Saya yang seharusnya minta maaf karena sudah lancang
mencintai seseorang yang tak pantas bagi saya.”
“Jangan
menganggap dirimu rendah, Ri. Saya tahu tidak ada yang bersalah di sini. Hanya
saja waktu belum memberikan kita persetujuan.”
Sang
pemilik nama menunduk. Rida tak kuasa menahan tangisnya. Rasanya memang tak
mudah ketika mencintai seseorang yang tak pernah bisa dimiliki. Meskipun memang
benar saling mencintai. Rida hanya bisa pasrah dalam detak waktu. Dia berharap
akan menemukan sosok yang memang ditakdirkan untuknya.
“Sini,
Ri!” panggil Zayn seraya merentangkan tangannya lebar-lebar. Bahkan lelaki itu
sangat ingin menjadi sandaran Rida ketika masalah datang menerpa. Namun, itu
memang sebuah khayalan. Hanya sebatas keinginan yang entah kapan akan terwujud.
Tanpa
pikir panjang, Rida membaur di pelukan Zayn. Dia tahu hal ini seharusnya tak
pernah terjadi. Dia tak memiliki kuasa apa pun atas Zayn. Yang terpikirkan oleh
Rida hanyalah mungkin ini kesempatan terakhir untuknya mengadu perasaan bersama
sang pujaan.
“Maafin
saya,” ungkap Rida langsung melepas pelukan. Dia tak bisa terjerumus semakin
dalam.
“Nggak
apa-apa, Ri. Aku siap menjadi sandaranmu meskipun hanya sementara. Kita masih
bisa saling mencintai, bukan?”
“Iya
Pak, tapi saya takut ketika saya terus menyemai rasa itu maka lara juga akan
tumbuh lebat.”
Zayn
terdiam. Apa yang dikatakan perempuan di depannya memang benar. Terkadang
renjana dan luka datang pada saat yang bersamaan.
“Kalau
begitu aku cuma mau satu hal, Ri. Jangan pernah lupakan kita. Kamu harus
mengingat bahwa kita pernah. Pernah saling mencintai meskipun bukan kita yang
akan bersatu,” lanjut Zayn. Rida mengangguk keras. Dia tahu bahwa seberapa
keras usahanya melupakan, itu hanyalah kesia-siaan. Rida mungkin akan menghapus
rasa yang membuatnya tenggelam, tetapi tak akan mampu membuang sosok Zayn dalam
pikirannya.
“Saya
keluar dulu, Pak. Masih banyak kerjaan.”
Zayn
tersenyum hangat menatap kepergian Rida yang juga merupakan sekretarisnya itu.
Dia kembali menekuri pekerjaan kantor yang semakin padat. Waktu terus bergulir
pun tak dihiraukannya.
***
Rumah
megah yang berdiri di tengah kota metropolitan tampak ramai oleh tamu undangan
yang semakin bersesak. Dekorasi yang disusun hampir menyentuh seratus persen.
Makanan-makanan disajikan dengan apik. Di bagian tengahnya, sudah berjajar
kursi-kursi bagi tamu untuk dapat melihat proses ijab kabul yang akan segera
dilaksanakan.
Penghulu
yang ditunggu pun duduk di tempat yang telah disiapkan. Kedua mempelai juga
telah duduk bersisian di kursi yang didekorasi dengan bunga-bunga.
“Saya
nikahkan engkau Zaynal Renando bin Zuhri Alfarari dengan ananda Natasha
Seferine binti Galunggung Pamukthi dengan mas kawin tanah satu hektar dibayar
tunai.”
Genggaman
tangan Zayn mengeras. Dia embuskan napas besar sebelum membalas ijab kabulnya.
“Saya
terima nikah dan kawinnya Natasha Seferine binti Galunggung Pamukthi dengan mas
kawin tersebut dibayar tunai.”
Seluruh
tamu undangan menghela lega. Akhirnya acara yang dilangsungkan telah menemui
muaranya.
“Bagaimana,
saksi? Sah?” tanya penghulu.
Serentak
yang hadir berseru ‘Sah’ bersamaan. Pernikahan Zayn dengan Natasha adalah atas
rida dari kedua orang tua mempelai. Meskipun dalam lubuk hati Zayn yang
terdalam masih tersembul nama Rida. Namun, Zayn tak bisa melaksanakan apa-apa.
Perjodohan sudah dilakukan dan dia sama sekali tak bisa menolak apalagi
membatalkannya.
Dan
terjadilah pernikahan ini. Pernikahan yang sama sekali tak diimpikan oleh Zayn.
Dia bahkan tak akan menduga kedua orang tuanya akan mencepatkan pernikahannya.
Padahal, Zayn sudah berusaha untuk menemukan rida untuk Rida. Namun, takdir
benar-benar tak memberinya kesempatan memperjuangkan.
Usai
mengucap ijab kabul, Natasha, perempuan yang sudah berstatus istri Zayn mencium
punggung tangan sang suami. Tak ada raut wajah bahagia atau sedih dari seorang
Zaynal Renando. Hanya datar tanpa ekspresi.
Resepsi
segera dilaksanakan. Seluruh teman sekantor Zayn diundang termasuk Rida. Namun,
Zayn tak yakin perempuan itu akan datang. Dia tahu bagaimana kehancuran
perasaan Rida saat mengetahui belahan cintanya harus bersanding dengan yang
lain.
Zayn
dan Natasha berdiri di pelaminan serta menyambut tamu yang ingin bersalaman
maupun berfoto ria. Mata Zayn terpaku ketika dia menemukan sosok yang tak
pernah dikiranya akan datang.
“Selamat
ya Pak, saya turut bahagia.”
“Makasih,
Ri. Saya nggak nyangka kamu akan datang.”
“Saya
datang untuk diri saya sendiri, Pak. Saya tahu setelah ini tidak akan ada lagi
kita. Saya juga sudah memutuskan untuk resign
dari perusahaan.”
Deg!
Jantung
Zayn serasa berdetak ketika kalimat itu diluncurkan dari bibir Rida yang merah
jambu.
“Tapi
perusahaan sangat butuh pekerja kayak kamu, Ri. Saya mohon kamu pertimbangkan
lagi.”
“Keputusan
saya sudah bulat, Pak.”
Sebelum
Zayn bertanya, Rida sudah berjalan menyalami mempelai perempuan. Usai itu, Zayn
tak nampak lagi keberadaan perempuan yang pernah singgah dalam hatinya. Tamu
undangan semakin banyak sehingga Zayn tak lagi dapat menemukan jejak Rida.
Natasha
juga tidak bisa dikatakan sebagai orang ketiga. Meskipun hadirnya memang
membuat keretakan antara Zayn dan Rida. Namun, keputusan kedua orang tuanya
telah membalikkan segalanya.
Zayn
akan berusaha mencintai Natasha. Entah kapan hati yang telah dibawa pergi oleh
Rida akan datang kembali menemui pemilik yang baru. Rasanya mustahil. Zayn
masih terbayang sosok Rida yang riang dan selalu membuat keadaan kantor lebih
cerah.
Hari-hari
ke depan mungkin saja gelita tanpanya. Zayn juga tak tahu bagaimana Natasha.
Apakah perempuan itu sanggup menggantikan Rida atau tidak. Yang berada di
pikiran Zayn masih rumit. Mungkin pula akan selalu rumpang tanpa terlengkapi
dengan potongan yang melengkapinya.
Biodata
Dyah
Rahmadhani Saraswati, gadis kelahiran Mojokerto, 25 Oktober
2004. Hobinya menulis, membaca, dan mendengarkan musik. Mulai terjun dalam
dunia kepenulisan sejak tahun 2018 dan telah menghasilkan beberapa karya solo
maupun antologi. Untuk mengetahui informasi lainnya bisa cek di akun Instagram
@sarassvvti_.
Post a Comment