Cerpen : Lily Putih untuk Liana



Lily Putih untuk Liana

 

Aku selalu pulang kerja berjalan kaki sendirian menuju rumahku di ujung pertigaan gang enam, melangkah pelan setapak demi setapak. Kupandang lekat langit sore yang mulai menjingga. Rasanya begitu lelah, aku melamun dalam heningnya suasana pergantian sore menuju malam. Di tengah perjalanan air mataku menetes, aku kembali mengingat gadis itu. Kejadian dua tahun lalu di stasiun kota memutuskanku kembali ke sini, pulang ke kampung halaman.

***

Usiaku kini sembilan belas tahun, aku kuliah di salah satu universitas swasta di kota ini, menjadi anak rantau untuk pertama kali awalnya cukup sulit  bagiku, tetapi seiring berjalannya waktu aku mulai terbiasa menghadapinya, dan kini tak terasa aku telah memasuki semester tiga. Pagi ini jadwal mata kuliah sastra Indonesia sedang kosong, aku berdiri di tepi balkon depan ruang kelas, memandang taman dan kupu-kupu yang berterbangan, cerah sinar mentari tampak jelas dari sini, menambah ketenangan di hati. Ketika aku sedang tenang menikmati suasana pagi, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.

"Kelasnya kosong, apakah dosennya tidak datang?" tanya gadis berkemeja putih di sampingku.

Kulihat sosoknya yang belum pernah kujumpai sebelumnya, kudengar teliti satu kalimat yang dia ucapkan, terdapat kelembutan di sana.

"Dosennya sedang cuti melahirkan, perintah tugas tertulis di white board," jawabku, menggaruk rambutku pelan, merasa kikuk.

Sepersekian detik aku mampu tersihir oleh gadis itu. Tak lama bagiku untuk mencari tahu, gadis itu adalah Liana, dia seusiaku, asli dari kota ini, dan senang menulis. Satu yang tak pernah luput dari perhatianku; lesung di pipi kirinya.

Aku pernah menjalin kasih sewaktu di bangku sekolah menengah atas, tetapi jalinan kasihku kandas begitu saja khas percintaan remaja, takada yang berarti bagiku. Pada akhirnya aku bertemu Liana, aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali kami bertemu di tepi balkon kampus. Setelah pertemuan itu, banyak hal baik darinya yang mampu membuat hatiku tak berpaling.

Semakin hari kami terasa semakin dekat, walau hanya sebatas teman. Aku tahu Liana membalas perasaanku, aku dapat membaca dari setiap gerak-geriknya. Kerap di antara kami mencuri pandang satu sama lain, begitu salah satu dari kami mengetahuinya, terlihat payahlah kami, berpura-pura melihat objek lain, dan nyatanya akulah yang paling sering terlihat payah. Namun, kami hanya mampu saling menyimpan perasaan masing-masing, tak terucap sepatah kata pun. Ah, jika mengingat jerih payah ibu dan bapak membiayaiku kuliah di kota orang, rasanya kurang tepat jika aku justru memilih menjalin kasih, maka dari itu kubuang jauh niat menyatakan perasaanku pada Liana. 

Biarkan takdir Tuhan yang bicara, batinku dalam hati.

***

Sejak kelulusan kami setahun lalu, aku dan Liana tetap bertemu. Kami telah bekerja saat ini. Aku masih merantau di kota tempat kami kuliah dulu, bekerja di salah satu perusahaan food and beverage, sedangkan Liana bekerja di salah satu penerbit ternama, dan yang pasti kami masih sama-sama sendiri. Genap empat tahun sudah Liana mengisi hatiku. Sehari yang lalu, aku mengirim pesan pada Liana, mengajaknya makan malam bersama selepas pulang kerja. Aku bertekad akan menyatakan perasaanku padanya malam ini. Ponsel di atas meja kerjaku berdering tanda ada pesan masuk, pesan dari Liana rupanya.

"Wisnu, malam ini jadi bertemu?"

"Jadi Li, pukul tujuh malam kujemput di stasiun kota," balasku, senyum mengembang di bibirku.

Liana berangkat dan pulang kerja menaiki kereta, terkadang aku menjemputnya di stasiun kota, sekadar melepas rindu, menghabiskan makan malam bersama di warung sate padang langganan kami, lalu mengantarnya pulang.

            ***

 

Aku duduk di atas motor tuaku menunggu kedatangan Liana dari seberang stasiun. Liana paling malas jika harus mengantre panjang dengan kendaraan bermotor lain saat menuju pintu keluar parkiran, terlebih saat jadwal kedatangan kereta, antrean pintu keluar parkiran semakin menjadi-jadi. Oleh karena itu, dia selalu menyuruhku menunggunya di sini. Malam ini, aku menunggu kedatangannya bersama sebuket bunga lily putih yang merekah indah di tanganku, melihat buket bunga lily putih ini mengingatkanku dengan kejadian di toko bunga tadi sore, saat aku sedang memilih bunga yang akan dirangkai, seorang pria tua menghampiriku.

"Memilih bunga untuk siapa, Nak?" tanya pria tua itu padaku.

"Untuk teman perempuan saya, Pak," jawabku padanya.

"Pilihlah bunga yang terindah, hanya dengan melihat rupa dan mencium wanginya saja kau dapat merasakan cinta di dalamnya," ucap pria tua itu, memberiku setangkai bunga lily putih yang dipilihnya, dan berlalu pergi.

Pria tua yang aneh, tetapi bunga lily putih ini memang begitu indah, batinku, sembari merenung sejenak.

Liana pasti akan menyukainya, lalu aku menambah beberapa tangkai bunga lily putih lagi, bergegas membayar dan pergi meninggalkan toko bunga, melaju ke arah stasiun kota.

Kulihat digital watch hitam di tangan kananku menunjukkan pukul tujuh malam kurang sepuluh menit. Sosok Liana mulai terlihat dari sini, dia keluar dari pintu parkiran stasiun, mengenakan kemeja merah jambu dan rok rempel cokelat muda sepanjang betis kaki, rambut ombaknya dibiarkan tergerai sebahu. Dia melambaikan tangannya dari pinggir jalan tanda melihat diriku dari seberang. Entah mengapa dari kejauhan Liana terlihat begitu cantik malam ini, dia tersenyum manis padaku. Dari jauh kami saling memandang sesaat, bersaksikan bintang-bintang malam.

Di sisi lain tanpa sepengetahuan kami, dari arah pertigaan jalan depan stasiun kota, mobil pick up hitam hilang kendali, melaju kencang menerobos lampu merah, dan dalam satu kejapan mata menabrak beberapa kendaraan lain di depannya. Aku refleks terbangun dari dudukku, tersentak kaget melihat kejadian yang baru saja terjadi. Keadaan sangat kacau, beberapa mobil remuk tak berbentuk, motor terlempar beserta pengendaranya, seketika bau anyir dan oli menjadi satu. Aku begitu panik mencari sosok Liana yang menghilang dari pandanganku, kucabut kunci motorku, kubiarkan motorku terparkir di pinggir jalan. Aku berlari menyeberang jalan ke arah tempat Liana tadi berdiri, sebuket bunga lily putih masih tergenggam di tanganku.

Mataku panik menangkap sosok Liana, beberapa orang berlari ke arahnya, berusaha memberikan bantuan. Saat itu juga seluruh tubuhku gemetar, lutut kakiku lemas seakan tak bertuan, tangisku pecah sejadi-jadinya, kulihat Liana tergeletak takberdaya di pinggir jalan, terlempar tiga meter dari tempatnya berdiri, darah mengalir deras dari belakang kepalanya. Aku meraih tubuhnya yang malang, Liana masih setengah membuka mata, kududukkan kepalanya di pangkuanku, napasnya sudah tak teratur dan semakin pendek. Air mataku terus mengalir, untuk pertama kalinya kubelai rambut Liana, darah segar menempel di tanganku, kuletakkan bunga lily putih di genggamannya yang mendingin, kubisikkan nama Tuhan di telinga Liana berulang kali, dengan lirih dia mengikutiku. Tepat pukul tujuh malam pemantik rinduku berpulang; bersama bunga lily putih dariku dan sejuta perasaan di dalamnya.


***

 

Bionarasi Penulis:

Diyah Lestari. Lahir di Surakarta pada bulan Agustus. Penulis pemula yang masih belajar dan senang berwisata kuliner. Saat ini tinggal di Semarang bersama keluarga terkasih.

Akun Media Sosial : Instagram @dilestariku

E-mail                     : diyahlestari148@gmail.com  

 


Share:

Post a Comment

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis