Cerpen- Tak Sama


sumber:pinterest
Oleh: Bira Autumn


Sudah hampir setengah jam aku berkutat di depan televisi. Menonton acara musik untuk membunuh rasa jenuh, tetapi yang terbayang di benakku sedari tadi hanyalah penampilan vokalis perempuan dari salah satu band terkenal. Dia memiliki tubuh yang tinggi semampai dan juga warna kulit yang eksotis. Entah kenapa dia terlihat lebih trendy dengan rambut merah bergelombangnya. Aku mengusap wajah frustrasi. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah bisa menjadi seperti dia.

Panas siang ini begitu terik, membuat keringat bercucuran tiada henti. Menunggu di bawah pohon rimbun adalah salah satu cara terbaik. Setiap lima menit sekali aku melihat jam di tangan, kemudian melihat ke sekeliling. Ingin kumeneleponnya, tapi ponselku sudah tidak memiliki daya lagi untuk tetap hidup. Aku hanya bisa berharap dia akan segera datang, karena kepalaku mulai berkunang-kunang.

  Tepat ketika kepalaku mulai bertambah pusing, dia datang. Lalu meminta maaf karena tadi ada rapat dewan mahasiswa di kampus. Aku mengangguk lalu tersenyum. Dia terlihat khawatir melihatku yang sudah semakin pucat. Dia membawaku duduk dan memberikan air minum. Setelah keadaanku sedikit membaik, barulah dia memboncengku dan mengantar pulang.

 Aku dan Ivan menjadi kekasih hampir satu tahun lamanya. Kami jadian tepat saat aku berusia 17 tahun dan itu adalah kado terindah untukku yang selama ini mendamba menjadi kekasihnya. Ivan adalah tetangga dan juga sahabat kecilku. Usia kami terpaut tiga tahun, tapi itu tidak menjadi penghalang bagi kedekatan kami.

Dari dulu dia selalu baik dan perhatian padaku. Dia juga selalu menjaga dan melindungiku dari orang-orang yang akan berbuat buruk padaku. Saat kecil aku akan sangat senang jika tidak sengaja menggunakan warna baju yang sama dengannya. Hal itu selalu saja menjadi ejekan bagi teman-teman di sekitar rumah kami. Tentu saja hal itu membuatku malu, sedangkan Ivan hanya tersenyum menanggapi perkataan mereka.

Bagiku menjadi kekasih Ivan saat ini adalah harapan yang menjadi kenyataan. Bagiku tidak ada laki-laki yang baik dan sangat memahamiku selain dia. Keluarga kami juga tidak pernah mempermasalahkan jika kami memiliki hubungan khusus. Aku masih ingat bagaimana Ivan memberi kejutan saat ulang tahunku, semuanya terasa indah. Ditambah lagi dia juga menyatakan perasaan padaku tepat di depan teman-temanku. Saat itu adalah masa-masa termanis yang pernah kuingat.

Selama hampir setahun hubungan kami tidak pernah bermasalah. Aku sangat mensyukurinya, tapi ada satu hal yang kulupa, Ivan memiliki mantan terindah yang tinggalnya tidak jauh dari rumah kami. Perempuan itu sebaya denganku, tetapi secara fisik dia lebih unggul. Kalau bisa memilih, aku juga ingin memiliki tubuh tinggi semampai seperti dirinya.

Masih teringat jelas di ingatanku bagaimana gencarnya Ivan mendekati Novi, lalu berpacaran dengannya kemudian berakhir putus. Aku tahu semua itu karena dulu akulah satu-satunya teman tempat dia berkeluh kesah. Dulu dia sempat mengatakan bahwa Novi itu memiliki badan yang bagus, mandiri dan dewasa sangat berbanding terbalik denganku. Saat itu aku tidak mempermasalahkan ucapannya, karena kami hanya sebatas teman. Lagi pula aku sudah puas dengan diriku yang apa adanya.

 ***

 

Ivan mulai mengabaikanku, selalu sibuk jika diajak bertemu. Dia seolah sedang merentangkan jarak denganku. Ivan terlihat lebih sering berkumpul bersama komunitas motor dan teman-teman band-nya. Sepupuku memberi tahu, jika dia pernah melihat Ivan bersama Novi di sebuah kafe, tetapi aku tidak ingin menuduh sebelum memastikannya langsung.

Aku memberanikan diri untuk bertanya pada Ivan. Di luar dugaan, dia membenarkan semua perkataan sepupuku. Ternyata sejak kembalinya Novi tinggal di komplek ini, perhatian Ivan jadi terpecah. Memori dari kenangan manis bersama Novi seolah membuatnya kembali pada masa lalu dan melupakan aku yang ada di masa sekarang.

 Suasana sore di taman komplek terlihat lebih sepi dari biasanya. Mungkin karena ini bukan akhir pekan. Entah kenapa sejak kami duduk dan berdiam diri ada perasaan takut yang menyelimutiku.

 “Maaf Mina, sepertinya hubungan kita enggak bisa dilanjutkan. Aku rasa hubungan kita ini salah.” Ivan memulai pembicaraan. Ekspresi wajahnya terlihat tenang, tidak ada riak sama sekali.

 “Ke-kenapa begitu, Kak?” Aku tergagap dibuatnya. Perkataan Ivan terasa begitu kuat menghantam hatiku.

“Soalnya kamu enggak bisa menjadi seperti Novi.”

Aku membatu mendengar perkataannya. Tak kuduga dia menginginkan aku berubah menjadi Novi.

“Coba kamu lebih modis seperti Novi, pasti aku enggak akan malu ngajak kamu ke teman-teman. Terus rasanya juga enggak rugi kalau ngajak kamu makan keluar.” Ivan berkata dengan entengnya tanpa memikirkan perasaanku.

Aku masih diam, tak sanggup berkata-kata. Aku hanya terus mendengarkan perkataannya.

“Lihat Novi, dia sangat bergaya. Rambutnya juga di buat kekinian. Kalau kamu bisa seperti itu, aku ‘kan jadi enggak malu bawa kamu ke komunitas motor.”

Lagi ... Dia tidak pernah berhenti membandingkan aku dengan mantannya. Apa salahnya jika aku ingin menjadi diri sendiri? Aku memang tahu jika Ivan suka perempuan modis seperti Novi, tapi jika berubah hanya demi orang lain, aku akan kehilangan jati diriku.

Aku kira dia tulus mencintaiku, mengingat dari kecil kami selalu dekat dan saling memahami. Aku tidak bisa melepas hijabku dan menukarnya dengan rambut berwarna merah seperti Novi. Aku juga tidak bisa berlagak gaul seperti anak kekinian. Aku adalah orang yang sederhana, tapi bukan berarti aku akan mempermalukannya.

Mungkin karena itu dia tidak pernah mengajakku sekali pun bertemu dengan teman komunitas ataupun teman band-nya. Dia merasa penampilan rapi dan berhijabku tidak cocok dengan teman-temannya dan hanya akan membuatnya malu.

Aku menepuk pelan dada yang terasa semakin menyesakkan. Berkali-kali kuhapus air mata yang dari tadi tiada henti keluar dari mataku. Dia hanya diam memperhatikanku tanpa melakukan apa pun. Ini sungguh lebih menyakitkan.

“Ja-di, Ka-kak mau kita pu-tus?” suaraku bergetar menahan tangis yang dari tadi tak bisa kubendung.

“Lebih baik begitu. Sekarang aku baru sadar, perasaan selama ini ke kamu itu hanyalah perasaan kepada adik. Aku sadar setelah bertemu dengan Novi kembali.”

Aku terkekeh mendengar nama Novi yang lagi-lagi disebut.

“Aku enggak bisa menganggap kamu lebih dari adik. Semoga kamu bisa mengerti,” ucap Ivan dengan ekspresi datar. Lalu pergi meninggalkanku sendiri dengan rasa sakit.

Aku tidak menyangka hal ini akan terjadi padaku. Selama ini aku mengira sudah sangat mengenalnya. Ternyata hanya karena seorang mantan dia bisa berubah dalam sekejap. Dengan mudahnya dia membandingkanku dengan mantannya. Bahkan dengan gampangnya dia mengatakan hubungan yang sudah terjalin hampir satu tahun ini hanyalah kesalahan.

Rasanya dadaku terasa sakit sekali. Berkali-kali kupukul dada untuk meredakan sesaknya, tapi percuma saja itu sama sekali tidak membantu. Baru kali ini aku merasa putus cinta sangat menyakitkan. Laki-laki yang selama ini kuharap bisa mengisi hari-hariku hingga tua, ternyata tidak lebih dari laki-laki yang tak memiliki perasaan.

 

 ***


PROFIL PENULIS

Bira Autumn perempuan kelahiran kota Padang (Sumatera Barat) pada 25 Februari 1993. Saat ini ia masih menapaki langkah demi langkah untuk meraih mimpinya menjadi seorang penulis. Saat ini ia mulai aktif dalam menulis cerpen dan novel. Ia sudah menghasilkan beberapa antologi bersama teman-teman dalam berbagai komunitas menulis. Ia juga aktif dalam berbagai komunitas dan event. Selain itu ia juga menjadi editor di salah satu penerbit indie. Kata-kata sakti yang selalu dirapalnya adalah “Write Itu Down and Make It Happen”. Ia bisa dihubungi melalui Instagram @bira_autumn dan Email; haninff@gmail.com


Share:

2 comments :

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis