Cerpen: (Tidak) Sakit


Oleh : Hiromy

            Gadis pindahan itu dikabarkan punya kekuatan super. Namun, aku tahu kalau itu semua cuma omong kosong. Dia hanya gadis biasa yang sering tersenyum. Namanya Liyana. Kabar bahwa dia tidak bisa merasakan sakit ataupun perubahan suhu, itu bukan karena dia punya kemampuan khusus. Guru sudah menekankan berkali-kali bahwa Liyana menderita CIPA. Kalau tidak salah, kepanjangan CIPA adalah Congential Insentivity to Pain Anhydrosis. Singkatnya, saraf pengindra nyerinya bermasalah, jadi  otaknya tidak bisa menerima sinyal bahwa tubuhnya sedang kesakitan.

            Julukan Liyana si gadis super, tak lebih seperti ejekan. Mereka senang menarik lengan Liyana. Mengajaknya makan bersama di kantin. Kemudian, mereka dengan sengaja memesan minuman yang sangat panas, dan membiarkan Liyana menghabiskannya dalam satu tegukan. Seolah itu merupakan pertunjukan yang layak ditonton. Seingatku hanya saraf gadis itu yang bermasalah, tetapi kurasa otaknya juga bermasalah. Seharusnya dia bisa membedakan mana yang namanya teman dan mana yang namanya dibodohi.

            Setiap Liyana berjalan dari bangkunya menuju papan untuk menjawab soal, dia selalu jatuh. Bagaimana tidak jatuh? Selalu ada teman kelas sialan yang sengaja membentangkan kaki dan membuat Liyana tersandung. Namun, karena dia tidak kesakitan, dia hanya bangkit sambil tersenyum seperti orang bodoh.

            Pernah juga ketika jam kosong, anak-anak itu membuat permainan untuk mengerjai Liyana. Aturan mainnya, seseorang ditutup matanya dan harus menangkap yang lain sambil menyebut nama orang tersebut. Sudah pasti orang pertama yang ditutup matanya adalah Liyana. Sebelum permainan benar-benar dimulai, mereka sengaja mengacak posisi meja dan kursi.

                    "Sini, tangkap aku!" seru anak perempuan berambut keriting.

            Liyana dengan antusias mencoba bergerak mengikuti sumber suara. Lagi, kaki kurus itu menghantam meja. Suaranya cukup keras. Gadis berambut pendek itu sama sekali tidak berteriak. Dia tersenyum sambil memamerkan gigi gingsulnya. Seharusnya dia sadar, ini bukan permainan yang cocok untuk gadis sepertinya. Lebam biru pasti memenuhi kakinya setelah dia menabrak meja dan kursi berkali-kali. Orang normal cenderung akan menjerit kesakitan. Namun, tidak dengan Liyana. Selama hidupnya gadis itu pasti tidak pernah berteriak ataupun menangis karena sakit.

            Sebenarnya, hal yang paling menjengkelkan dari semua ini adalah mereka. Tidak ada yang mampu  menahan tawa setiap melihat aksi Liyana. Mereka semua malah tertawa tanpa malu sedikit pun. Aku percaya, tawa mereka itu sebelas dua belas dengan tawa setan.

***

            Jauh sebelum aku tahu ada gadis bernama Liyana yang menderita penyakit aneh, tidak ada yang kusyukuri. Namun sekarang, aku berubah. Ulat makhluk kecil yang menggelikan itu saja bisa berubah jadi kupu-kupu. Jadi, ini bukan hal yang sulit untuk manusia. Mereka bisa berubah jadi apa pun yang mereka mau. Begitu juga aku.

Aku mulai bersyukur karena bisa merasakan setiap inci dari rasa sakit. Sensasi tidak mengenakkan itu, seperti alarm. Memberitahukan bahwa ada yang salah dan harus diobati. Jadi, sakit bukan hal yang buruk. Selama mampu menahannya sampai sembuh, semua akan menjadi jauh lebih baik. Namun, sekali lagi, hal ini tidak berlaku bagi Liyana. Dia tidak sakit. Luka-luka fisiknya tidak akan diobati. Dia akan terluka selama hidupnya tanpa tahu bahwa itu harus disembuhkan.

Aku, orang yang masuk sekolah saja jarang, sekarang malah menaruh khawatir padanya. Sudah berapa kali aku menahan diri untuk tidak berlari dan menolongnya saat terjatuh. Anak nakal yang dulu jarang masuk dan sekarang malah sering masuk, terlihat seperti keajaiban. Jika aku melakukan hal mencolok lainnya, itu hanya akan membuat Liyana berada dalam masalah. Namun, sampai kapan aku harus memperhatikan? Luka-lukanya terus bertambah. Aku cuma bisa merasa kesal denga sikap Liyana yang tanpa perlawanan.

Terakhir kali, ada lebam biru di mata kanannya. Itu pasti perbuatan anak klub tenis. Mereka pasti sengaja melemparkan bola ke arah Liyana. Apa perlu kutampar wajah menyebalkan mereka itu dengan raket tenis? Biar mereka sadar dan tidak dirasuki setan lagi.

***

           Orang-orang berlarian, berdesakan, mendorong satu sama lain. Bunyi sirene pemadam kebakaran memekakkan telinga. Sulur-sulur merah itu melahap sebagian bangunan SMA Harapan. Asap abu-abu mengepul dan membumbung ke langit. Ada jeritan di mana-mana. Kepalaku mendongak dan memperhatikan bangunan yang dibaluti merahnya api. Masih tersisa beberapa anak yang terjebak di sana. Bibirku yang dari tadi ingin tersenyum, kucoba untuk menahannya sebisa mungkin. Rasanya, ini seperti ritual pembasmian setan.

                "Di mana Liyana?" tanya wali kelas yang saat itu kebetulan berdiri di sampingku.

            "Dia kembali masuk untuk menyelamatkan beberapa orang. Dia bilang semua akan baik-baik saja karena dia kebal api," jawab salah seorang anak.

            Aku berharap bahwa aku sedang salah dengar. Kenapa gadis itu bodoh sekali. Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya. Perasaan ini semakin tidak nyaman. Tanpa sadar aku mulai menggigit ujung kukuku. Menatap pintu keluar dari bangunan yang warnanya mulai tidak jelas itu,  berharap Liyana cepat keluar.

            Lima menit berlalu dan dua anak perempuan keluar dari bangunan itu. Mereka bukan Liyana. Sialan. Pemadam kebakaran terus bekerja untuk memadamkan api. Entah butuh berapa lama hingga apinya padam. Aku tidak cukup fokus untuk menghitung waktu.

Dengan cemas aku mencoba untuk masuk ke bangunan itu. Namun, seorang pemadam kebakaran tampak tengah menggendong seorang gadis yang separuh tubuhnya terbakar. Setengah bagian kepalanya tidak ditumbuhi rambut lagi. Aku menatap lemas. Itu Liyana. Luka-luka yang melelehkan kulitnya itu tampak mengerikan. Gadis itu diserahkan pada petugas ambulans. Sebelum dia masuk mobil ambulans, Liyana melihatku, dan dia melambaikan tangannya yang terluka. Seolah dia ingin memberi tahuku bahwa dia selalu baik-baik saja.

***

Berita tentang anak laki-laki yang sengaja membuat kebakaran dengan menyulut api di sekitar laboratorium kimia, kini sudah tersebar ke seluruh tempat. Hanya butuh beberapa detik untuk menyebarkan informasi melalui media sosial. Perkembangan teknologi benar-benar mengerikan. Semua kesalahan sudah kuakui secara sukarela ke kepolisian. Namun, ada satu hal yang belum aku akui. Tentang perasaanku dan terima kasihku pada Liyana.

Biodata Narasi

Seorang gadis biasa dengan nama pena Hiromy. Selalu punya ketertarikan untuk mengubah dunia jadi tampak berwarna lewat setiap tulisannya. Bisa dihubungi di Email hiromyyuasa@gmail.com dan Instagram @hiromy.hiromy.

Share:

4 comments :

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis