Cerpen- Menemukan Tuhan


Oleh: Azalia Elian Faustina


 (Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka ber iman (masuk Islam). Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu…” (QS: al-Baqarah:221).

Burung prenjak mendekor langit, lewat bersuit-suit, pulang ke sarang. Rumpun ilalang ranggas meliuk-liuk dibelai angin. Seperti senja-senja jingga sebelumnya, cinta ditaburkan dari langit. Pun aku, menjemput cinta yang ditaburkan dari langit di wajah seorang pemuda sederhana, yang belakangan ini bayangnya tak mau pergi dari kepala. Dia memboncengku naik sepeda ke bendungan di ujung kampung Bani. Tentunya setelah mendapat makian dari Baba-ku karena melarikan anak gadisnya sejam demi menyaksikan cinta yang ditaburkan dari langit dalam senja yang megah.

“Berandal! Haiya, beraninya ko rang larikan anak orang! Len On!!! Kembali kau, Fang Len On!”

Hanya sejam. Untuk sebuah cinta yang hinggap dengan sederhana, yang tak banyak meminta, dan tak banyak kata untuk membuktikannya. Kami harus pulang ketika gelap mulai merayap menelan semburat jingga sang senja. Said harus tiba sebelum adzan maghrib menggema, karena dia-lah muadzinnya masjid kampung kami. Sering aku tercenung dalam menyimak adzan. Terdengar sangat indah dan menggetarkan, meskipun aku tak tahu apa yang dilantunkan.

Senja demi senja berganti ratusan kali. Dan senja kali ini, 23 Oktober 1996, Said memboncengku naik sepeda ke padang ilalang. Aku terpaku di hadapannya, gelisah menunggu kata-kata keluar dari lisannya. Gerimis pun berubah menjadi hujan yang deras. Kami membiarkan tubuh kami basah dan kedinginan.

“A Len, seperti yang telah kuutarakan pada Ayahku, bahwa aku ingin menikahimu. Ayahku yang seorang muslim taat tak mengizinkanku untuk itu. dan kutahu Baba Liong yang seorang Konghucu taat takkan membiarkan anak gadisnya dinikahi oleh pemuda yang bersebrangan dengan kepercayaannya…” dia terhenti.

Betapa terkejutnya aku mendengar kata yang tumpah ruah itu. aku luruh dari berdiriku, mulai terisak dan menggigil. Tak kusangka bahwa di senja yang bersahaja ini, dia menampar hatiku. Padahal, kami berjanji akan menikah tahun ini, apapun yang terjadi. Aku dihinggapi kegamangan luar biasa. Luruh dari tempatku, aku terisak, tak ingin aku terpisahkan dari Said. Aku meremas ilalang-ilalang tajam, tersayat dan berdarah-darah. Perih, tapi hatiku lebih perih.

Meski kami miskin, kumal dan buruk, kelurga kecil kami tak pernah surut akan senyuman. Ya, keluarga. Akhirnya kami menikah meskipun Baba, sejak keputusan untuk menikah dengan Said kutetapkan, tak mau lagi melihatku menginjak halaman rumahnya. Baba begitu murka denganku.

“Kau ingin apa saja, sampai mana pun kuturuti meskipun kita ni miskin. Kau ingin tetap jadi Konghucu atau berubah jadi Kristian, atau Hindu Budha segala, tak masalah bagiku! Tapi jika kau berani menikah dengan muslim atau menjadi muslim, lebih baik kau pergi dari rumah ini! Dan aku bukan Baba-mu lagi!” murka Baba.

“Jika kau berani menampakkan diri halaman rumahku, akan kupotong lehermu! Awas kau!” teriaknya, mengakhiri murkanya padaku. Baba, Chen dan Chung Fa, kedua adikku, mengusirku. Ancamannya tak main-main. Maka, dengan kecewa dan air mata yang menganak sungai, aku cepat-cepat meninggalkan rumah itu, sebelum leherku benar-benar dipotongnya.

Aku dan Said melarikan diri jauh dari kampung demi memperjuangkan seekor makhluk yang disebut cinta. Namun, meski sekarang kami jauh dari hidup berkecukupan, hatiku tenang bersamanya. Aku bukanlah Kristian, apa lagi penganut Hindu atau Budha. Bukan lagi penganut agama Konghucu karena tidak pula datang ke Klenteng untuk beribadah, bahkan tidak pula mengikuti suami menjadi muslimah. Hatiku kosong tanpa Tuhan.

Said masih setia menjadi Said yang dulu, taat dan patuh pada Tuhannya. Dia shalat, mengaji dan berpuasa. Tapi tak pernah sekali pun ia mengajakku mengikutinya. Aku selalu dilanda keharuan tiada tara ketika ia membaca Al Quran. Dalam setiap lekuk tajwidnya, seakan adalah pekik rindu yang mendalam untuk Tuhannya. Aku menyimak dari luar kamar bacaan ayat-ayatnya, meski sama sekali tak kumengerti tetapi ketenangan jiwaku dapat kurasakan.

Jika bulan Ramadhan tiba, aku bangun dini hari, memasak, menyiapkan makan sahur untuk Said. Meski aku tak puasa, aku ikut makan bersamanya. selama menjadi istrinya, aku tak lagi makan babi dan anjing. Aku makan seperti yang orang muslim makan, seperti yang Said makan. Dan siangnya aku tak makan, hingga Said pulang dari tambang timah, menunggunya berbuka puasa. Malamnya, aku tak tidur menunggunya pulang shalat tarawih dari masjid.

Konflik hebat dalam hatiku tentang Tuhan terjadi ketika hampir lunas nyawaku dalam proses melahirkan putra pertamaku, Furqan. 9 September 1998, aku mengalami kontraksi hebat. Aku tak lagi punya daya, seakan sejuta luka tertampung di ‘sana’. Said berusaha menenangkanku yang menjerit-jerit seperti kurban disembelih. Mulutnya berkomat-kamit melafazkan doa-doa yang tak kumengerti. Dalam nafas satu-satu, aku merasa membutuhkan suatu kuasa yang amat besar, yang mampu menolongku dan memudahkan kelahiran putraku. Sekarang aku sangat membutuhkan Tuhan untuk menyelamatkan anak beranak ini. Tapi Tuhan siapa yang harus kusebut dalam rintihanku?

Wajah Bidan setengah baya itu mulai panik dan pucat karena begitu lamanya aku teraniaya tanpa titik terang. Ia sudah berbuat apa saja semampunya. Sementara itu, Said masih di sampingku, menggenggam tangaku erat seakan tak ingin kehilanganku. Ia masih bekomat-kamit dalam doa. Dalam doanya kudengar lamat-lamat berulang kali menyebut Allah. Seperti talah menemukan jawaban dari pertanyaan, setelah itu, hanya kata “Allah” yang keluar dari mulutku.

“Allah… Allah… Allah,” ucapku. Berharap Allah, Tuhannya Said sudi menolong aku dan putraku.

Mendadak wajah Said yang cemas berubah menjadi bahagia, senyum terulas di bibirnya. Dan sesuatu yang tak dapat kujelaskan dalam logika, membuatku punya daya kembali demi menghadirkan putra sulungku ke dunia. Setiap kumemekik menyebut Allah, seakan aku menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

Kejadian itu membuatku percaya bahwa Tuhan itu ada. Pun membuatku senantiasa berdoa dalam hati kepada Tuhan yang disebut Allah itu selalu menolongku, memberiku, dan mengasihiku. Meski begitu, aku belum muslimah. Begitupun Said, meski ia tahu aku telah percaya pada Allah, ia belum mau mengenalkanku pada-Nya.

 

Furqan Sidiq Habibullah, tumbuh menjadi bocah lima tahun yang tampan dan cedas. Furqan tumbuh menjadi muslim. Tiap ba’da maghrib, Ayahnya mengajarinya mengaji. Di bawah sinar lampu minyak yang temaram, mereka berdua seakan dipeluk dalam cinta Tuhan. Makin terharunya aku ketika anak semuda itu sudah dapat mengaji, dan seperti Ayahnya, setiap lekuk tajwidnya mengadukan rindu tiada tara seorang hamba kepada Tuhannya.

Pada waktu masuk shalat, Said meminta izin dari mandor tambang timah untuk pulang sekadar mengajak Furqan shalat di masjid. Biasanya, ba’da Ashar, Ayahnya mengantarkannya mengaji ke Taikong Habib di masjid raya kampung. Dan aku yang akan menjemputnya pulang. Menunggunya di halaman masjid, sampai ia selesai mengaji. Aku memboncengnya dalam kursi rotan di atas boncengan sepeda. Telapak kakinya kubalut dengan sapu tangan agar tak masuk ke jari-jari ban. Di jalan tidak jarang ia membacakan surah yang sedang dihafalnya. Saat ia melantunkan ayat suci, aku diam menyimak. Tapi tak jarang, ia menanyakan pertanyaan polos yang menampar hatiku.

“Apakah Ibu bisa mengaji? Sebaik apakah Ibu mengaji? Berapa surah Al Quran yang telah Ibu hapal? Mengapa aku tak pernah melihat Ibu shalat dan mengaji? Bu, mengapa Ibu tak berjilbab seperti Ibu-ibu yang lain?” itu sebagian dari celoteh pertanyaannya.

Aku tak pernah menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Anak sekecil itu, takkan paham bila kuberi pengertian bahwa aku tak bisa membaca huruf hijaiyah, tak mengerti apa itu mengaji, dan ia takkan mengerti bahwa Ibunya bukanlah seorang muslim seperti dirinya.

Sebelum Maghrib, biasanya Said sudah pulang dari tambang. Tapi senja kali ini berbeda, entah apa sebab musababnya hingga adzan Maghrib Said tak kunjung pulang. Furqan gelisah dan mulai menangis karena Ayahnya belum pulang untuk pergi ke masjid bersamanya.

“Ibu, di mana Ayah? Mengapa lama sekali Ayah pulang? Aku akan terlambat shalat Maghrib, Bu!” tangisnya pecah. Aku pun ikut cemas karena Said selalu pulang tepat waktu. Aku berusaha menenangkan Furqan, tapi tak berhasil. Yang diinginkannya adalah Ayahnya yang selalu mengajaknya ke masjid.

“Sudahlah, Nak. Jangan menangis. Ayah memang tak bisa mengantarmu ke masjid sekarang, biar Ibu saja yang mengantarmu. Kau mau, kan?” hiburku, mengusap air matanya yang berburai-burai di pipi kue terigunya. Perlahan isakannya reda. Ia minta ditemani berwudhu. Lalu, aku menuntun tangan kecilnya berjalan ke masjid yang jaraknya tak lebih dari 200 meter.

Aku mengantarnya hingga depan pintu. Furqan mencium tanganku dengan takzim, lalu masuk. Wajahnya sudah cerah seperti sediakala. Aku menunggunya di teras masjid, sambil mendengarkan imam mengimami jamaah shalat Maghrib. Aku termenung untuk beberapa lama. Ada seorang perempuan yang hadir terlambat, berlari-lari ke masjid. Melihatku, ia berhenti di pintu,

“Nya, tidak shalat?” tanyanya heran. Aku menggeleng.

Aku ingin masuk. Aku ingin mengenakan mukena. Aku ingin shalat bersama mereka. Aku ingin mengaji. Tapi apakah ‘pemilik’nya mengizinkan manusia kotor berlumuran dosa memasuki rumah-Nya? Bukankah aku serupa anjing yang najis?

 

Pukul 7.45, Furqan telah rapi dengan baju koko merah favoritnya, yang kubelikan di Tanjong, lebaran lalu. Hari ini adalah hari yang istimewa untuk Furqanku. Ada acara kelulusan dan perpisahan di TK-nya. Dan Furqan terpilih tampil membaca hafalan Al Quran. Berseri-seri wajahnya demi menghadapi hari manis ini. Said mengelap sepeda tua, harta satu-satunya keluarga kami, memeriksa rem, rantai, dinamo dan kliningannya agar sempurna dipacu ke Jabung-7 kilometer dari kampung kami-juga demi acara putera kami. Pakaian yang dipakainya pun adalah pakaian terbaiknya. Kemeja bergaris-garis hitam dan sedikit warna merah, yang juga dibeli pada lebaran tahun lalu.

Aku menjalin rambut menjadi satu kemudian diikat di ujungnya. Dan dipadu dress hijau bermotif bunga merah yang warnanya sudah luntur. Aku bergegas karena tak ingin terlambat. Namun ketika Furqan melihatku, ia seperti melihat domba makan tanaman peliharaannya, tidak suka, marah dan jengkel.

“Mengapa Ibu berpakaian seperti itu?” tanyanya dengan nada kesal. Aku diam saja, sambil menunduk memakaikan sepatu ke kakinya.

“Ibu! Semua ibu-ibu yang datang akan memakai jilbab, hanya Ibu saja yang tidak. Kalau Ibu tidak memakai jilbab pergi ke sekolahku, aku takkan pergi hari ini!” ujarnya, mengancam.Aku tak acuh, menuntunnya keluar rumah untuk segera berangkat. Said menghampiri kami yang sedang bersitegang.

“Jangan macam-macam, Furqan. Kita sudah terlambat” bentakku. Dia malah menangis dan meronta dari pegangan tanganku. Furqan mengamuk. Said menggendong Furqan yang terus meronta-ronta.

“Tenanglah, Nak. Ibumu berjanji besok akan memakai jilbab. Sudah, sudah jangan menangis. Kita berangkat sekarang, Nak. Kita akan terlambat. Bukankah kau akan mengaji?” hibur Said.

“Aku akan sangat malu jika Ibu datang ke sekolahku tak berjilbab. Semua ibu guru dan ibu teman-temanku tentu berjilbab, Yah. Aku inginnya sekarang… sekarang,” rengeknya. Aku habis kesabaran. Ingin kuberkata padanya bahwa aku bukan muslim, jadi tak perlu berjilbab, seandainya ia mengerti.

“Ibu tak punya jilbab, Nak…,” ucapku, memberinya pengertian. Dia buang muka.

“Alas meja kan ada!” jawabnya ketus.

Aku menatap Said, ia mengisyaratkan agar aku cepat. Segera kuturuti kemauan Furqan, berlari masuk ke dalam rumah. Alas meja ruang tamu kuambil. Aku berganti baju panjang dan berdiri di depan cermin berusaha memakai alas meja sebagai jilbab yang menutupi kepalaku. Aku berlari keluar menuju mereka. Said membantuku memasang jilbab. Dilipat dan dipaskannya ke wajahku, lalu disimpulnya. Clear!

Furqan berhenti menangis ketika melihatku memakai jilbab. Sejujurnya aku sangat malu berada di khalayak mengenakan alas meja di kepalaku. Said tersenyum-senyum melihat wajahku memerah malu. Rasanya aku ingin pulang saja.

Namun, ketika Furqan tampil di atas panggung membacakan hafalan surah. Dan belakangan, kutahu yang dibacakannya adalah surah Al-Insyirah dan Al-Kafirun, lengkap ayat dan tejemahnya. Mataku berkaca-kaca menyaksikan puteraku tampil di khalayak sebagai muslim, sementara Ibunya masih kafir. Said menggenggam tanganku erat. Kutahu ia sangat bangga pada Furqan. Anak yang telah ditancapkan keimanan dalam dadanya, agar besar nanti tak tersesat sepertiku, yang gamang akan keagamaan. Sungguh, kalimat terakhir surah Al-Kafirun menukik dari lisannya dan menghujam tepat di jiwaku.

“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (Terjemah QS. Al-Kafirun 109:6)

Sesungguhnya, perkara ini haruslah dipisahkan. Tak bisa kucampuradukkan ajaran Islam dan ajaran Konghucu dalam kepalaku, apalagi dalam rumah tanggaku. Karena meskipun aku percaya Tuhan yang mereka sebut Allah itu ada, aku tidak menyembah apa yang mereka sembah. Mereka pun tak pernah menyembah apa yang aku sembah. Berkas-berkas cahaya hidayah menesulupi kekosongan jiwaku. Aku tersedun sedan menyimak bacaan puteraku, sama seperti saat aku menyimak bacaan ayat yang dilantunkan suamiku.

Dua hari setelah itu, aku mengucapkan dua kalimah syahadat di masjid raya kampung, ba’da Ashar. Taikong Habib, Said dan Furqan sebagai saksi hidup bahwa mulai hari itu aku resmi seorang muslimah dan namaku diganti menjadi Aisya Zukhrufurrahmi. Seketika itu aku bersujud, berterima kasih kepada Allah atas hidayah yang dilekatkan ke jiwaku. Aku berterimakasih atas kesempatan menjalani sisa usiaku sebagai muslimah. Dan aku memohon maaf kepada-Nya atas segala dosa yang kuperbuat di masa lalu. Ya Allah, aku telah menemukan-Mu.

 

Hari-hari berlalu dengan indah dan semakin indah. Aku bahagia karena aku dapat beribadah dengan mereka. Said dengan sabar mengenalkanku tentang Islam dari awal, seperti yang kuharapkan bertahun-tahun lalu. Dan lihatlah kini, inilah madunya. Ia mengajariku tata cara shalat. Shalat pertamaku adalah shalat Maghrib di masjid, berangkat bersama suami dan puteraku, seperti yang telah lama kuinginkan. Tetangga tentu heran melihat perubahanku yang kini telah menjadi muslimah, apalagi kini aku berhijab. Ada saja yang mencemooh perubahanku. Dengan bisik-bisik, dengan halus dan ada pula yang terang-terangan.

“Nya Len, sejak kapan orang Ho Pho di pulau ini berpakaian macam ustazah?! Bagus Nya Len ini membakar dupa di klenteng!” ujar tetangga dengan ketus. Lihatlah, padahal dia muslim juga yang sepatutnya mendukungku, bukan menganggap hijrahku ini salah. Aku ini mualaf, keimananku masih sangat rapuh.

Hatiku memang hancur, tapi kumenguat-nguatkan hati bahwa ini semua adalah bagian dari cobaan, meskipun cobaan itu menyakitkan. Kuingat janji-Nya, bahwa di balik kesusahan pasti ada kemudahan.

“…karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan..” (Terjemah QS. Al-Insyirah 94:5-6)

 

Hujan deras sejak pagi hingga ba’da Ashar. Setelah itu rinai-rinai di senja pucat, bak tirai air tipis berlapis-lapis. Setelah aku menjemput Furqan dari masjid raya, aku menjerang air di tungku, agar bila Said pulang nanti ia bisa mandi air hangat. Furqan di ruang tamu bermain mobil-mobilan kayu sendirian, menunggu Ayahnya pulang dari tambang. Suara sepeda masuk ke pekarangan. Furqan menghambur dengan riang, keluar demi menyongsong Ayah yang ditunggunya sejak tadi. Ia tertegun ketika orang yang datang itu bukanlah lelaki yang ditunggunya.

“Tolong panggilkan Ibumu, Nak,” pinta lelaki tua itu.

Furqan menggangguk dan berlari ke dalam rumah memanggilku yang berada di depan tungku. Aku menemui lelaki tua tersebut yang kemudian kutahu ia adalah Wak Kasim. Dengan wajah pias dan bicaranya pun gemetaran, ia mengatakan padaku bahwa tambang longsor dan Said tertimbun di sana. Aku terperanjat bukan kepalang. Akalku ditempeleng, aku tak dapat percaya dengan pernyataan Wak Kasim. Furqan kunaikkan ke boncengan dan kukayuh sepeda ke tambang secepat buaya muara mengejar mangsa. Aku menerabas tirai-tirai hujan berlapis, air mataku menetes dan diterbangkan angin. Jilbabku berkibaran. Hatiku memanjatkan doa-doa kepada Allah, semoga suamiku masih dapat diselamatkan. Aku sangat takut Said meninggalkanku di saat diriku masih rapuh sebagai muslimah.

Di sana warga berkerumun mencoba menyelamatkan Said dengan menggali-gali longsoran. Aku menerabas kerumunan dengan kalut, panik dan segala pikiran bercampur dalam kepalaku. Dengan tanganku kugali tanah longsoran yang menimpa Said seperti oarang kesurupan. Aku pun tak ingat Furqan kutinggalkan di mana saat itu karena teramat paniknya. Akhirnya, setelah lama menggali dengan para warga, aku menemukan tangannya. Tangannya tertengadah. Dadaku sesak mengetahui itu. Jika tertimbun dalam keadaan terlentang, biasanya kuli tambang tak selamat. Seperti yang alami Said, ia sudah tak bernyawa. Aku tersedu sedan memeluk jasad yang diam, dingin, dan pucat.

Jenazah Said dimandikan dan dikafankan oleh keluarganya dan aku membantu semampuku. Jujur aku belum belajar sampai sana. Hatiku perih sekali memandangnya terbujur kaku dibalut kafan. Tapi apa boleh buat, ajal sudah menjadi ketetapan-Nya, tak bisa dimajukan atau dimundurkan waktunya barang sedetikpun. Setelah dikafankan, Taikong Habib dan warga yang datang ke rumah duka men-shalat-kan almarhum. Aku ingin ikut shalat jenazah bersama mereka, tapi aku tak tahu bagaimana caranya.

Aku malu, dan menyingkir ke dapur. Di sana aku makin tersedu-sedu, aku mohon maaf pada Said karena aku tak bisa shalat jenazah. Aku merasa sangat bersalah. Dalam hatiku berkata seandainya aku dilahirkan ke dunia ini sebagai muslimah. Mertuaku menemuiku di dapur. Ia memelukku, menasihatiku agar mengikhlaskan kepulangan Said kehadapan Allah. Ia menyuruhku agar tabah dan meredakan tangisku. Tapi tangisku malah makin deras.

“Bu, aku ingin menshalati Said. Tapi aku tak tahu caranya…,” kataku sambil terisak.

Ia memaklumiku karena aku mualaf yang masih sangat minim pengetahuan ibadah dan lainnya tentang Islam. Baru dua minggu yang lalu aku mengikrarkan bahwa aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Nabi Muhammad utusan Allah, tetapi Said, tumpuanku, diambil-Nya. Aku seperti layang-layang teraju timpang, tak seimbang.

Furqan kehilangan sosok Ayah yang selalu mendampinginya mengaji dan beribadah. Aku kehilangan cinta pertamaku, yaang membuatku menemukan Tuhanku. Aku harus bangkit dari kesedihan. Bagaimanapun hidup harus tetap berlanjut, Furqan membutuhkanku. Aku pun harus belajar tentang Islam, meski tanpa Said, jamaah masjid kampung setia mengajarku. Kini, akulah yang mengantar Furqan ke masjid raya untuk mengaji, ba’da Magrib kami belajar mengaji bersama, tak jarang ia yang mengajarku. Aku tak memohon kehidupan yang mudah, namun kumemohon ketegaran hati untuk menghadapi segala ujian. Aku yakin, Allah selalu menolongku di setiap keterbatasanku.

“Said, terima kasih untuk semua cinta yang indah, karena kau telah mencintaiku dengan sederhana. Dan terima kasih telah membuatku menemukan cinta Tuhan yang abadi”


Share:

3 comments :

  1. Bagus sekali kak. Menginspirasi. Bahasa yang di gunakan pun ngalir aja,seakan pembaca ikut merasakannya. Jujur loh, aku nangis baca ceritanya.

    ReplyDelete
  2. Ya Allah aku nangis😭😭😭

    ReplyDelete

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis