Mengenal Fiksi Mini

     
  

       Seiring perkembangan karya sastra di Indonesia, ragam macam jenis tulisan baru pun bermunculan. Jika dahulu kita hanya mengenal istilah prosa dan puisi, kini di era kontemporer penulis-penulis pun bereksplorasi dengan berbagai jenis tulisan. Salah satu yang sering kita dengar dan populer saat ini adalah fiksi mini.

       Berikut beberapa hal tentang fiksi mini yang perlu kita ketahui versi Ruang Nulis.

1. Punya berbagai penamaan

Dalam bahasa Inggris disebut Flash Fiction, ada pula yang menyebutnya Fiksi Mini, Cerita Mini (Cermin), cerpen singkat, atau cerita kilat. Apa pun itu, semuanya merujuk pada betapa singkatnya jenis tulisan fiksi yang satu ini. 


2. Jumlah kata yang sedikit

Jika cerita pendek pada umumnya memiliki jumlah kata di atas 1000-2500 kata, fiksi mini memiliki jumlah kata yang lebih sedikit dari itu. Tidak ada batasan pasti berapa jumlah kata dalam fiksi mini namun umumnya rata-rata berkisar antara 200-1000 kata, bahkan ada juga yang menuliskan fiksi mini hanya dengan 50 kata.


3. Tetap merupakan cerita utuh

Walaupun jumlah katanya sedikit, fiksi mini tetaplah sebuah karya yang menyajikan sebuah cerita utuh bukan hanya sekedar penggalan. Dalam fiksi mini, unsur-unsur seperti tokoh, latar, konflik, dan penyelesaian tetap harus dimuat. Jadi usahakan dalam menulis fiksi mini seluruh unsur intrinsik yang diangkat harus lugas, tidak bertele-tele alias to the point. 



Nah, jadi bisa dikatakan cerpen dan fiksi mini itu hampir sama ya, hanya berbeda di panjang cerita alias jumlah katanya. Pertanyaanya, mungkin enggak sih, membuat sebuah cerita utuh hanya dengan jumlah kata yang sedikit? Jawabannya mungkin sekali, jenis tulisan ini sekarang sangat digemari karena penulis tentu merasa tertantang untuk menuliskan satu cerita utuh hanya dengan jumlah kata yang terbatas.

Untuk lebih jelasnya boleh melihat sedikit contoh fiksi mini di bawah ini ya...


Kadang hujan lebih tahu bagaimana membantuku menyembunyikan pilu. Aliran derasnya mengelabui bulir-bulir yang berdesakan keluar dari sudut mataku.

"Hai, selamat tinggal." Kali ini kuputuskan untuk mendahuluimu meninggalkanku.

Kau pikir aku tidak bisa hah? Kau pikir aku akan terima terus menerus kau kecewakan?

Kutarik ujung sekop dari timbunan tanah segar, menggeretnya dengan langkah berat. Faktanya aku tetap tercekat, walau kau memang pengkhianat, separuh hatiku ikut pergi bersama kau yang setengah jam lalu telah kuubah menjadi jasad.

(Pengkhianat karya Asih Tria Wulandari, Oktober 2019)
75 kata

Janjinya pukul 16.45 dan sekarang sudah pukul 17.12. Belum juga datang. Andra bukan tipe orang yang on time juga sebenarnya, hanya saja dia juga bukan orang yang kelewat "ngaret". Marah? Hm... enggak juga, biasa saja. Karena pada dasarnya Andra tidak pernah keberatan untuk menunggu. Meski sebagian besar orang mungkin sangat tidak suka menunggu dan Andra juga sepakat menunggu itu membosankan, ada kalanya ide-ide brilian muncul saat sedang menunggu, dan ada kalanya waktu menunggu adalah waktu-waktu paling produktif.

Andra membuka ponselnya, mengecek jam di sana baru satu menit berganti. Andra cek grup Odojnya di Whatsapp, alhamdulillah, tinggal 5 orang lagi yang belum kholas. Juga mengecek grup-grup lain yang Andra ikuti, berpuluh pesan-pesan taujih yang sayang kalau dilewatkan. Buka BBM, jarang-jarang ngecek recent update orang. Membaca status orang yang lucu-lucu, bisa buat tertawa atau bahkan bisa jadi ide buat bahan tulisan.

Andra menutup ponsel, melihat keadaan sekitar. Jalanan pasar yang macet, suara klakson angkot bersahut-sahutan. Orang-orang yang wara-wiri dengan aktivitas masing-masing. Masih banyak orang yang makan minum sambil berdiri (bahkan sambil jalan), entah karena tidak tahu hadis tentang aturan makan minum, atau entah karena memang mengabaikan. Masih banyak mahasiswa (yang sudah belajar belasan tahun) membuang sampah sembarangan, dan tentu masih banyak mereka yang hidupnya sulit sehingga harus mengutip gelas minum plastik yang baru saja dibuang mahasiswa yang lewat tadi. Andra juga memperhatikan gaya orang berpakaian, mana tahu sewaktu-waktu bisa jadi bahan untuk digambar, dan fenomena-fenomena kecil yang mungkin bisa jadi inspirasi.

Agak lelah, Andra duduk di halte bus tak terpakai dan tak terawat. Mengeluarkan peralatan tempur yang ia bawa ke mana-mana, tumpukan kertas dan sebilah pensil serta penghapus. Coret sana coret sini, hapus sana hapus sini. Jadilah sebuah gambar "aneh" (lagi). Andra kembali mengeluarkan ponsel, baterainya tinggal 10 %, dia kirim pesan via whatssapp pada seorang adek yang janjian jumpa di sini.

[adek sudah dimana? Kakak sudah sampai ni]

Baru satu ceklis (maklum pakai paket unlimited) Kemudian berubah jadi dua ceklis dan berwarna biru. Status bar di atas menunjukkan si adek sedang mengetik.

[Afwan Kak, baru ngabari, adek ada agenda jadi gak bisa datang kesana]

Disertai emoticon - emoticon pertanda sangat-sangat menyesal.

Andra mengemasi alat tempurnya, memastikan tidak ada yang ketinggalan. Menyandang ranselnya yang berat kemudian menyeberang, menunggu angkot jurusan ke rumahnya.

[Oo, iya dek, ya udah kk pulang]

Balas Andra kemudian. Sekesal apa pun karena sudah menunggu dan tidak ada konfirmasi sebelumnya harus tetap husnuzan, menjaga prasangka baik, mungkin memang Andra makhluk yang paling tidak punya agenda, dan mereka padat agenda. Toh, selama menunggu tadi ada satu gambar "aneh" yang selesai.

Langit mulai berganti oranye, Andra masih harus sabar menunggu angkot yang mengantarnya pulang. Semoga terkejar Magrib di rumah. 15 menit berlalu, tak ada angkot lewat, Andra melirik mesjid di ujung jalan. Haha, sepertinya harus Shalat Magrib di sini.

Azan Maghrib pun berkumandang, mengakhiri masa menunggu yang seperti biasa sering berujung ketidakpastian.

(Menunggu, karya Asih Tria Wulandari, Maret 2016)
471 kata


 
Share:

1 comment :

Design Prokreatif | Instagram Ruang_Nulis